Langsung ke konten utama

Postingan

Tidak Pernah Sama

 Hidup itu tidak pernah sama, miliaran orang di muka bumi ini memiliki jalan kehidupannya masing-masing. Memiliki pilihan masing-masing. Tidak pernah akan sama. Kenapa ya ketika melihat kehidupan orang lain, aku selalu merasa ingin merasakan menjadi seperti mereka. Setiap hari aku selalu bertanya di dalam kepala dan benakku, kenapa jalan hidupku seperti ini. Kenapa aku tidak bisa seperti orang-orang pada umumnya yang sepantaran usianya sepertiku. Di usiaku ini seharusnya aku sudah memiliki pekerjaan mapan, menikah, menyenangkan orang tua dan keluarga. Tetapi aku belum bisa. Terkadang aku merasa gagal, apa yang telah kulakukan selama ini? Kenapa jalan-jalan yang kupilih rasanya jauh dan lambat.  Kita seharusnya tidak membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain, kita harus bersyukur untuk apapun yang kita miliki. Ya aku setuju, tetapi kenapa ya aku selalu saja tergoda untuk memimpikan kehidupan orang lain. Andai saja aku seperti dia, andai saja aku memilih jalan seperti dia, andai
Postingan terbaru

Ya Sudah Aku Terima

Dia hanya memandangku sebagai seorang adik, tidak lebih. Apalagi saat ia mengingat permintaanku waktu ia mengikuti program pertukaran pelajar ke Amerika. Aku sangat ingat, di hadapan teman-temannya, ia memberikanku sebuah daun. Pada waktu itu aku merasa sangat senang, senang karena aku mendapat oleh-oleh dari negeri paman Sam, tetapi aku juga sangat senang karena ia mengingatku. Sangat jarang sekali ada orang yang mengingat permintaanku. Itu sangat berarti untukku, membuatku bermimpi bahwa suatu saat aku akan memeluk pohon daun tersebut.  Aku masih menyimpan daun itu hingga kini, aku beri label nama negara dan nama pemberi daun itu. Aku penasaran apakah ia masih mengingatnya? setelah lulus SMA, aku pindah ke kota lain dan memulai hidup baruku sebagai anak kuliahan, aku tidak pernah berhubungan lagi dengannya. Kami hanya berteman melalui sosial media dan tidak pernah berinteraksi apapun selain saling melihat atau menyukai gambar/video yang dipos. Aku dari awal tidak mengharap lebih dari

Tuan Cicak yang Bijaksana

Entah kenapa ya, banyak perbedaan antara generasi dahulu dengan generasi sekarang. Aku ingat bapakku sering bercerita, dahulu dia lulus SMA, bekerja menjadi kenek angkot, melamar kerja sana sini, bekerja apa saja yang penting bisa makan. Bapakku pernah tidak naik kelas, bergaul dengan para preman, menjadi tentara sukarela di Timor-timur. Sampai akhirnya mendapat pekerjaan walaupun belum tetap, lalu saat ia menikah dan aku lahir, aku ingat dia dulu dapat beasiswa untuk studi S1. Saat itu usianya lebih dari 30 tahun.  Sedangkan aku, lulus SMA langsung kuliah, lulus kuliah langsung bekerja, bahkan bekerja di beberapa sektor dan membuatku memiliki beragam pengalaman. Tetapi aku merasa sia-sia. Kenapa ya? Kenapa bisa seperti itu? Aku merasa ada yang salah, tetapi tidak tahu harus membereskannya dari mana. Apakah aku mengalami gejala FOMO? Aku benci tetapi aku harus mengakuinya. Iya aku mengalami FOMO. Fear Of Missing Out . Aku coba membayangkan menjadi bapak di usia 30an tahun yang baru kul

Maafkan Aku, Diriku

Maafkan aku ya diriku, aku terlalu pengecut sehingga aku lebih memilih melarikan diri dan bersembunyi. Aku merasa sebuah proses begitu melelahkan, padahal aku membutuhkannya. Aku terlalu terlena mencari kenyamanan diri, sehingga aku lupa bahwa hidup tidak selalu indah seperti foto/video yang dishare di media sosial. Aku lupa bahwa hidup itu bukan media sosial. Aku terlalu sibuk merapikan yang di luar, aku lupa untuk mengasah apa yang ada di dalam. Maafkan aku ya diriku, aku lebih suka mendengar apa kata orang daripada apa yang benar untuk dilakukan sehingga aku membuatmu terombang-ambing. Membuatku terkurung pada pikiran-pikiran sempit dan berjalan pada lorong sempit yang dilewati oleh kebanyakan orang. aku lupa bahwa aku perlu keluar lorong untuk melihat langit dan padang rumput yang luas. Apa sebenarnya yang kucari? apa sebenarnya yang kuinginkan? apa yang benar-benar aku butuhkan? apa sebenarnya yang membuatku seolah terburu-buru dalam menjalani kehidupan. Tak pernah aku melihat tah

Tidak Ada yang Kebetulan

Pertanyaan yang selalu menghantui,  kenapa aku dulu ambil jurusan IT? Sebenarnya pada waktu itu hanya berpikir kayaknya keren kali yah bongkar pasang komputer. HAHAHA sesederhana itulah pikiran anak lulus SMA yang gak paham apa-apa tentang informatika sesungguhnya. Aku sebenarnya gak terlalu paham apa yang sungguh-sungguh ingin aku pelajari. Terlalu banyak informasi yang masuk sehingga membuatku bingung apa yang pas untukku. Tapi akhirnya pun aku menjalani kuliah, dan anehnya itu terlewati, AKU LULUS. Akupun bingung, aku merasa sepertinya aku berhasil mengelabuhi para dosen ini, dan IPku di atas 3.00. Aku tidak melakukan kecurangan, aku hanya berusaha untuk menyelesaikan kekacauan yang sudah kumulai. Lalu aku bekerja, dan di masa-masa inilah aku mulai mencari jati diri. Aku memulai dengan bekerja sebagai staf admin selama 2 tahun, lalu menjadi guru komputer 3 tahun, Staf IT 1 tahun, lalu membantu merintis usaha keluarga 7 bulan, dan sekarang aku bekerja sebagai pengelola data dan aplik

Sekolah Sepi #2

Aku merasa semua memori menyerangku bertubi-tubi ketika aku menginjakkan kaki tepat di gerbang sekolah dasarku dulu. Gerbang yang sebenarnya dulu jarang aku lewati karena selama bersekolah di situ aku selalu datang terlambat jadi selalu lewat gerbang belakang dan bersiap untuk menerima hukuman dari guru. Hampir semua jenis hukuman sudah aku rasakan, mulai dari yang ringan hanya berdiri dengan posisi hormat di depan tiang bendera. Sampai saat ini aku masih bertanya-tanya kenapa harus ada hukuman seperti itu, aku tidak merasakan ada sesuatu yang aku harus pelajari selain menggerutu karena kepanasan dan lengan yang lelah. Atau hukuman menjadi pemimpin senam di depan, awalnya aku malu tetapi hukuman ini lebih berfaedah, selain aku menjadi lebih sehat, aku juga kecipratan menjadi terkenal saat itu. Atau membersihkan taman sekolah dari sampah dan rumput liar. Atau membersihkan toilet umum sekolah yang tidak perlu ditanyakan kondisinya yang sangat memprihatinkan, aku sering kehilangan selera

Kota Sepi #1

Setelah 20 tahun, aku baru kembali ke kota masa kecilku untuk sekedar berkunjung. Kota yang tenang namun menghanyutkan. Orang dari luar pasti senang karena kota ini nampak damai dan aman terkendali. Aku masih ingat jalan-jalan kota ini, tidak banyak yang berubah. Jalan-jalan yang lebar, pohon-pohon besar di pinggir jalan, sedikit kendaraan yang melintas dan tidak pernah ada kemacetan. Hanya ramai saat anak sekolah berangkat dan pulang. Aku sengaja tidak langsung menuju rumah, aku melewati jalan yang dulu sering aku lewati. Jalan yang di pinggirnya area kantor dinas dan pemerintahan, salah satunya adalah tempat bekerja ayahku dulu. Saat pindah ke kota ini, ayahku sengaja mencari sekolah yang dekat dengan kantornya sehingga mudah untuk antar jemput. Jalan itu hanya ramai saat jam kerja atau sekolah, diluar jam itu jalanan sangat sepi. Sebenarnya bukan hanya di jalan itu saja, secara keseluruhan kota itu akan menjadi sepi selain di jam kerja. Hanya pasar saja yang selalu ramai. Aku sena

[CERPEN] Cerdik Bukan Licik, Tulus Bukan Bulus.

Selain pandai menyimpan dendam, si Elam dikenal pandai menyimpan uang alias menabung dibandingkan anggota keluarga yang lain. Walau hidup susah, Elam selalu memegang erat ajaran gurunya bu Morela yaitu, “Hemat pangkal kaya”. Eh sebentar, nampaknya pepatah ini tidak asing dan sepertinya kurang lengkap. Oh iya, kalimat awalnya sengaja ia abaikan, mungkin karena kata “Kaya” lebih menarik perhatiannya. “Biarlah gak rajin belajar, yang penting pandai berhemat, lagian siapa yang tidak mau jadi kaya? Siapa yang mau hidup susah terus?”, pikirnya. Dia tidak benar-benar memahami pepatah itu seutuhnya, karena otaknya yang begitu cetek. Walaupun begitu, ia memang dikenal pandai berhemat bukan karena ia memiliki banyak uang untuk ditabung, tetapi karena hidup yang susah mengharuskan ia untuk hidup hemat, entah hemat atau kikir beda tipis seperti paman Gober. Tapi minimal ada hal positif yang dia teladani dari paman Gober yaitu hidup hemat, sehingga bisa menabung. Pertanyaannya adalah bagaimana

[CERPEN] Semua Gara-gara Iklan

Hari itu cerah sedikit berawan berbentuk seperti kue serabi, melihat awan saja rasanya sudah kenyang. Entah kerasukan apa, Elam tiba-tiba mengambil gunting dan pergi ke dapur. Di dapur ada nenek dan ibunya sedang mempersiapkan makan siang. Ia ke dapur dengan tergesa-gesa sambil memegang sebuah gunting besar. "Kamu ngapain ke sini bawa gunting?", tanya neneknya sambil melihat gunting di tangannya dengan posisi waspada. Elam dengan mata melotot menghiraukan pertanyaan neneknya. Makin kuatir dengan kondisi cucunya yang memang agak aneh itu, si nenek mendekat ke menantunya, "Kenapa itu si bocah?". "Udah biarin aja nek, paling dia habis kena hipnotis", kata ibunya Elam. Dengan dahi mengerut, si nenek kembali mengupas bawang merah yang sempat membuat matanya berair sambil menghiraukan Elam yang seperti orang kehilangan mencari sesuatu di setiap laci, wadah, lemari, bawah meja, dalam toples, dan sudut-sudut dapur. "Kayaknya aku pernah liat itu barang di dapu