Langsung ke konten utama

[CERPEN] Cerdik Bukan Licik, Tulus Bukan Bulus.


Photo by Birte Liu on Unsplash

Selain pandai menyimpan dendam, si Elam dikenal pandai menyimpan uang alias menabung dibandingkan anggota keluarga yang lain. Walau hidup susah, Elam selalu memegang erat ajaran gurunya bu Morela yaitu, “Hemat pangkal kaya”. Eh sebentar, nampaknya pepatah ini tidak asing dan sepertinya kurang lengkap. Oh iya, kalimat awalnya sengaja ia abaikan, mungkin karena kata “Kaya” lebih menarik perhatiannya.

“Biarlah gak rajin belajar, yang penting pandai berhemat, lagian siapa yang tidak mau jadi kaya? Siapa yang mau hidup susah terus?”, pikirnya. Dia tidak benar-benar memahami pepatah itu seutuhnya, karena otaknya yang begitu cetek. Walaupun begitu, ia memang dikenal pandai berhemat bukan karena ia memiliki banyak uang untuk ditabung, tetapi karena hidup yang susah mengharuskan ia untuk hidup hemat, entah hemat atau kikir beda tipis seperti paman Gober. Tapi minimal ada hal positif yang dia teladani dari paman Gober yaitu hidup hemat, sehingga bisa menabung.

Pertanyaannya adalah bagaimana ia bisa mendapatkan uang untuk ditabung? Padahal ia jarang mendapat uang jajan dari orang tuanya. Untuk makan saja susah apalagi untuk memberikan uang jajan. Walau ia tidak pintar tetapi ada bagian kecil di otaknya yang agak encer yang bisa diputar-putar, baginya selama masih sehat dan kuat dia bisa melakukan apa saja. Neneknya adalah panutan dalam hidupnya, dari kecil hingga duduk di kelas 6 SD sekarang dia belajar banyak dari neneknya, bekerja di ladang, di sawah, di hutan, di pasar atau di antara ibu-ibu rumpi sudah ia lakoni bersama neneknya. Siang itu sepulang sekolah, ia melihat neneknya di dapur menyiapkan bahan-bahan untuk dijual seperti kacang goreng, donat dan membuat pais (semacam makanan ketan dari tepung beras, pisang, kelapa, dan gula merah dibungkus daun pisang dibentuk persegi panjang lalu dikukus, ketik aja “Pais pisang” di google kalau gak percaya). 

Nenek dulu adalah pegawai negeri, tetapi setelah menikah dengan pegawai negeri juga, suaminya memintanya untuk berhenti agar bisa fokus menjadi ibu rumah tangga, zaman itu tidak ada istilah wanita karier ketika sudah berumah tangga. Sehingga nenek harus merelakan pekerjaan yang sangat dibanggakannya itu, pada zaman itu menjadi pegawai negeri sangat mengangkat status dan nilai diri seseorang, akan sangat dihormati dan dibangga-banggakan. Ditambah lagi suaminya memiliki jabatan yang baik di dinas kehutanan, semua orang pasti berpikir mereka adalah keluarga muda yang sangat beruntung, memiliki masa depan yang sangat cerah. Hal itu membuat nenek dan suaminya sangat optimis dalam menjalani hidup, mereka bahkan memiliki delapan anak. Bagi mereka hidup yang melimpah ini lebih nikmat jika dinikmati dengan lebih banyak anggota keluarga sehingga tidak akan terlalu sepi. Nenek menikah di usia 23 tahun, lalu mendadak menjadi janda di usia 35 tahun. Dengan kondisi sebagai ibu rumah tangga tanpa pekerjaan, dan harus mengurusi delapan anak sendirian dan ada 1 anaknya yang mengalami malpraktek dokter tak bertanggung jawab sehingga harus mengalami kondisi sebagai difabel seumur hidup. 

 Betapa berat, keras dan tajamnya kenyataan hidup yang menghujamnya. Tidak bisa hanya mengandalkan tunjangan pensiunan suami mendesaknya untuk melakukan pekerjaan apapun yang penting ia dan kedelapan anaknya bisa bertahan menyusuri waktu dan tetap dalam pengharapan akan masa depan. Orang-orang yang sebelumnya menatapnya dengan wajah berbinar-binar, sekarang menyembunyikan wajah mereka dan berbisik-bisik di belakang membicarakan betapa hancurnya rumah tangga yang awalnya indah itu. Yang dulu membuat orang-orang iri, saat musibah itu menghampiri membuat orang-orang mengutuki. Yang awalnya kasihan berkembang menjadi topik panas “Kutukan Keluarga”, entah bermula dari apa. Lidah itu memang kecil tetapi berfungsi seperti kemudi kapal besar, bisa mengarahkan kapal kemana saja, ke arah yang benar atau ke arah tebing es seperti peristiwa kapal Titanic yang fenomenal itu.

Neneknya tidak pernah bercerita tentang hidupnya kepada si Elam, tetapi seperti potongan puzzle ia mendengar dari ayahnya, atau dari bibi dan pamannya saat mengenang masa kecil mereka ditinggal seorang ayah yang gagah secara mendadak. Setiap kumpul keluarga dan ada yang tiba-tiba teringat dengan kakek, nenek secara refleks ke toilet atau mencari kesibukan di dapur. Mungkin kenangan itu terlalu perih untuk diingat kembali. Siang itu, setelah Elam mengganti baju seragamnya dengan baju kaos rumahan yang dibeli ibunya di pasar tungging (pasar baju bekas dimana penjual atau pembelinya sering berposisi nungging-nungging saking luasnya area hamparan baju). Saat itu kacang goreng sudah selesai tinggal dibungkus di plastik kecil, Elam mengambil lilin kecil yang ada di kaleng susu di bawah meja dekat tutup kaleng tempat obat nyamuk. Lalu menyulut api dan meneteskan cairan panas dari lilin itu di atas kaleng dan menempelkan lilin itu diatasnya agar dapat berdiri tegak. Mulailah neneknya memberi takaran untuk tiap bungkusnya, memastikan jumlah biji kacang adil sama rata untuk tiap bungkusnya agar tidak terjadi perselisihan antar pembeli. Hal yang kecil dan remeh seringkali memicu konflik yang tak penting, hanya gara-gara beda jumlah biji kacang goreng pembeli satu mendapat 25 biji, yang lainnya mendapat 26 biji, yang kurang akan merasa tidak adil sedangkan yang lebih akan sombong, hal ini akan terjadi jika yang membeli adalah bocah-bocah tengil yang setiap harinya gemar berkelahi macam tom dan jeri tetapi bila magrib harus pisah pulang ke rumah masing-masing dan saling merindukan indahnya bermain eh bertengkar sepanjang hari itu. 

Nenek memberi takaran yang tepat, Elam berperan sebagai quality control sekaligus menutup bungkus kacang itu dengan membakar pinggir bungkus yang terbuka agar dapat direkatkan. Setelah 30 menit didapatlah 30 bungkus kacang goreng siap santap, itu artinya 1 bungkus memakan waktu 1 menit untuk quality control dan packing. Setelah disusunnya dengan rapi bungkus kacang di keranjang jualan, tugas selanjutnya adalah memberi topping pada donat yang sudah selesai digoreng oleh nenek. Topingnya hanya 2 yaitu gula halus dan meses alias mentega seres, ada juga yang dibiarkan ori tanpa toping terkhusus untuk orang-orang tua yang memiliki sakit diabet agar bisa juga menikmati donat montok nenek. Diberi nama donat montok karena donat nenek montok, bukan nenek yang montok karena nenek tidak punya waktu untuk membuat tubuhnya montok, usia dan usaha kristalisasi keringat membuat tubuhnya nampak hanya tulang berbalut kulit, seperti tembaga berbalut karet kabel. 

Ada 27 biji donat yang jadi, 10 dengan toping gula halus, 12 toping meses, sisanya donat ori. Kenapa setiap jenis donat memiliki jumlah berbeda? Hal ini sudah diperhitungkan berdasarkan survey pasar sebelumnya, awalnya nenek membuat donat dengan jumlah yang sama tiap jenis donatnya, untuk melihat mana yang paling banyak dijual dan yang sedikit, maka didapatlah formula jumlah jualan donat seperti tadi. Donat toping meses lebih banyak dijual karena digemari oleh bocah-bocah kompleks, bahkan orang tua rela membeli lebih jika anaknya tidak suka makan nasi tetapi lebih suka makan donat montok nenek, bagi orang tua itu yang penting anaknya makan dan lagian donat montok nenek tidak hanya berukuran cukup besar tetapi juga padat isinya. Sering Elam memikirkan berapa keuntungan yang nenek dapatkan dengan menjual donat montok itu, harganya sama dengan donat angin yang lain. Ketika Elam protes kepada nenek mengenai harga yang tak sesuai dengan kualitas donat montok, nenek hanya berkata, “Gak papa gak dapat untung banyak, yang penting yang beli senang dan langganan ke kita”. 

Nenek bukan lulusan ekonomi atau bisnis, tetapi nenek adalah guru yang hebat dalam memberikan teladan hidup. Nenek tidak banyak bicara, tetapi dia selalu memberi, dia juga akan melakukan apapun yang penting keluarganya bahagia, itu juga yang ia tunjukkan kepada para pelanggannya. Bahkan semua pelanggan-pelanggan, tetangga-tetangga sangat menyayangi nenek dan memperhatikan nenek. Nenek juga bukan orang yang gengsi, dia tidak peduli dengan apa kata orang, apakah orang lain menginjak-injak atau meremehkannya, nenek tetap bekerja sekuat tenaganya. Pernah suatu kali Elam melihat nenek mengisap sebatang rokok setelah melepas lelah bekerja di ladang, Elam tidak pernah melihat neneknya mengeluh ataupun menangis, tetapi saat melihat neneknya mengisap rokok dan mengeluarkan asap dari bibirnya yang kering dan berwarna gelap itu mata nenek yang sayu dan berkaca-kaca itu seperti menahan sebuah beban yang sangat berat. Ia seperti ingin menangis tetapi energi itu ia alihkan dengan mengisap sebatang rokok, menuangkan perih hatinya saat menghembuskan asap rokok. Minimal ia sedikit merasa lega, alih-alih berteriak untuk mencapai kelegaan hati, lebih baik ia melepaskannya sambil mengisap dan menghembuskan asap rokok, orang lain tidak akan curiga.

Keranjang jualan sudah penuh dengan 30 bungkus kacang goreng, 27 donat montok dan 20 pais pisang buatan nenek. Lalu nenek menyuruh Elam untuk makan dulu, karena uang sudah menipis untuk beli bahan, nenek hanya sempat membeli beras dan garam, jadi siang itu mereka makan nasi dengan kuah garam. Sebenarnya nenek tidak tega memberi cucunya makanan itu, tetapi apa daya, uang yang ada harus diputar agar keuntungannya nanti bisa untuk beli sedikit telur, sayur dan mie instan. Jika uang tidak diputar maka uang itu hanya bisa bertahan sehari, tetapi jika uang diputar maka bisa bertahan 3 sampai empat hari sampai mendapat uang lagi dari ayah dan ibunya. Orang tua Elam bekerja sebagai honorer yang gajinya tidak tentu diberikan tiap bulan, bisa dirapel 2-4 bulan bekerja. Setelah makan siang dan bersiap-siap, ia dan neneknya berjalan menyusuri setiap warung kompleks jika ada pemilik warung yang ingin membeli dan menjual kembali di warung mereka.

Warung pertama milik seorang janda muda bernama bulik siti, keturunan suku jawa tetapi lahir dan besar di kota kecil buntok ini, belum pernah sekalipun pergi mengunjungi tanah nenek moyangnya di pulau jawa terkhusus kota Blitar. Khas dengan Daster andalannya berwarna merah dan ada renda di bagian bawahnya. Rambut digelung rapi, hitam mengkilap karena setiap pagi selalu menggunakan minyak urang aring cap gadis yang biasa dibelinya dari warung datuk uras di pasar Barito.

“Ada donat montoknya nek?”, tanya bulik Siti saat melihat nenek datang menghampiri warung sederhananya.

“Ada ni lik, mau ambil berapa?”, tanya nenek.

“Sini lam, bulik liat-liat di keranjangmu tu”, panggilnya sambil menyambut keranjang jualan yang ada di kepala Elam.

“Duh montoknya ai ini donat-donat mirip aku haha”, ujarnya.
Elam hanya melengkungkan sedikit ujung bibir sambil mengernyitkan dahinya. “Montok dari hongkong”, ujarnya dalam hati.
“Ni aku ambil donat mesesnya 5, gula halus 5, kacang goreng 10 lawan 5 pais pisang lah nek, berapa semuanya nek?”
Sambil komat-kamit bibir nenek menghitung totalnya, Elam membantu pelanggan pertama mereka menyusun di wadah kue-kue lik Siti. “Semuanya 15 ribu lik”, jawab nenek. Dengan rincian harga Rp800 per donat, 500 per kacang dan 500 pais pisang, sebenarnya totalnya 15500 tetapi nenek sengaja beri diskon 500 karena lik Siti adalah pelanggan tetap jualan nenek.
“Ni nek lah, pas lah”, dikasihnya 10 lembar seribu dan 15 koin seratusan, 10 lembar seratusan berwarna merah dan 5 lembar lima ratusan warna hijau bergambar monyet. Nenek langsung menerima sepaket uang itu lalu dimasukkan ke dalam plastik kecil hitam yang ia simpan di tas pinggang kecilnya yang sudah usang itu.

“Lumayan ini sudah kembali modal buat tepung sama pisang”, kata nenek. Berarti sisanya tinggal modal kacang dan keuntungan. Elam mengecek kembali sisa jualan, masih ada 17 donat, 20 kacang dan 15 pais.
Dari jauh ada suara ibu-ibu yang mendayu-dayu memanggil, “Donat nenek Elam, ke sini lah, aku handak nukar”. Dengan sigap nenek melambaikan tangannya tanda siap ke sana, lalu langkah kami menjadi lebih cepat dengan semangat demi receh yang akan diterima. Ternyata di situ ada beberapa ibu-ibu yang sedang berkumpul sambil mengawasi anak-anaknya bermain. Sebenarnya mereka lebih banyak ngerumpi atau bergosip daripada menjaga anak-anaknya. Lihatlah anak-anak yang bergelantungan di pohon rambutan di halaman rumah acil mamah Ujon sudah seperti anak monyet kehilangan induknya. Elam kasihan dengan nasib pohon rambutan itu. Dikumpulan itu ada mamah erna, mamah bobi, mamah eni, mamah romi, mamah ana, mamah andi, ramai sekali pokoknya.

“Nek, aku nukar 1 donat meses lawan 1 pais pisangnya lah”, ujar mamah erna sambil memberi uang 1500 ke nenek.

“Aku 2 donat ori nek, mau aku kasih meses sendiri nanti di rumah”, ujar mamah bobi sambil memberi uang 2000.

“Aku donat gula 1 lawan kacang 2 lah nek”, ujar mamah ana sambil memberi 2000 ke nenek. Semua ibu-ibu bukan hanya hafal dengan harga jualan nenek tetapi merekalah yang suka menentukan harganya sendiri seenaknya, sebenarnya Elam paling malas kalau dipanggil ibu-ibu itu tapi mau bagaimana lagi, mereka semua juga pelanggan setianya nenek. Mamah Andi membeli 3 donat meses, 2 donat gula halus, 4 kacang, mengundang decak kagum ibu-ibu lain, “Wih banyaknya mah Andi”. “Ya tu, si Andi tu amun makan donat kada bisa cuma satu ja, ngamuk inya kena”. Mamah Andi adalah pemimpin geng emak-emak Rumpi di kompleks itu, tidak tahu bagaimana asal muasalnya sehingga mamah Andi bisa menjadi pemimpin mereka, tidak pernah terdengar ada voting pemilihan kepala persatuan emak-emak rumpi kompleks gang sempurna, semuanya terjadi secara begitu saja. Elam pernah sempat menganalisa bagaimana mamah Andi bisa menjadi tetua di kelompok tersebut, mungkin karena kebijaksanaan wanita paruh baya itu, meskipun ia bukan yang paling tua di antara kelompok ibu-ibu itu tetapi ia yang paling bijaksana di mata Elam, contohnya belanjaan yang dibeli oleh mamah Andi seharusnya hanya 7000 saja tetapi diberi ke nenek 10000 tanpa kembalian. “Asik, 3000nya bisa buatku”, ujar Elam dalam hati.

Tidak terasa 3 jam Elam dan neneknya mengelilingi kampung untuk menjajakan kue-kue itu. Elam membantu nenek menghitung uang-uang receh hasil penjualan. “Empat puluh dua ribu, dua puluh koin 500 jadi lima puluh dua ribu, 23 koin seratusan jadi semuanya lima puluh empat ribu tiga ratus sudah sama kembalian yang lebih-lebih tadi nek”, ujar Elam pada neneknya. Entah kenapa jika dalam hal perhitungan uang Elam cepat sekali, tetapi disuruh mengerjakan tugas hitungan sederhana di sekolah, buduknya bukan main. Memang benar kata orang-orang, pengalaman adalah guru terbaik. “Iya, nenek ambil lima puluh ribu, sisanya buat kamu”, ujar nenek. “Yessss”, Elam bahagia.

Akhirnya ia bisa punya uang tambahan. Keuntungan memang tidak seberapa, lima puluh ribu dikurang 20 ribu modal, ada sisa 30 ribu untuk tambahan membeli bahan makanan, lalu modal bisa untuk berjualan lagi. Sering Elam merasa iri dengan teman-teman di sekitarnya dimana kehidupan mereka lebih nyaman dan lebih berada. Elam memiliki beberapa teman “kaya” di sekolah ataupun di lingkungan rumah. Mereka sering mengajak Elam bermain ke rumah mereka. Mereka senang bermain dengan Elam karena bagi mereka Elam berteman dengan secara tulus. 

Elam tidak pernah memanfaatkan mereka. Meskipun Elam sering merasa iri, tetapi pantang baginya untuk memanfaatkan orang lain. Sikap itu telah dibiasakan di dalam keluarganya. Lebih baik hidup susah daripada hidup menjadi benalu bagi orang lain. Entah bagaimana si Elam bisa memahami dan memiliki kebiasaan itu mengingat usianya yang masih bau kencur. Itu adalah senjata rahasia turun temurun dari keluarganya. Elam jarang diberi uang jajan, untuk menghemat, neneknya sering membawakannya bekal. Terkadang ia merasa bosan dengan bekal neneknya, tetapi ia tidak tega untuk protes apalagi demo mogok makan pada neneknya. Yang ia lakukan adalah menjual bekalnya kepada teman-temannya yang bosan dengan jajanan sekolah. Lucu ya, tapi begitulah adanya. Meskipun tak pintar, ia agak sedikit cerdik. Mungkin ini juga warisan dari keluarganya. Meskipun hidup susah, tapi otak harus cerdik juga mencari celah-celah kesempatan demi bertahan hidup. Cerdik bukan licik, tulus bukan bulus.

~Rest

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu berpikir

Sepanjang aku hidup, selama sekitar 21 tahun 11 Bulan, Aku menarik kesimpulan bahwa inilah diriku apa adanya. Aku tidak perlu menjadi orang lain, aku tidak perlu menuruti penilaian orang lain. Aku menyadari dan terus menyadari bahwa banyak hal indah yang ada di sekelilingku, namun jika hatiku sedih, semuanya terasa suram. Sekali lagi aku menyadari bahwa perasaan bukanlah pegangan utama untuk memutuskan segala sesuatu. Adakalanya diam dan menangis adalah cara untuk menetralkan hati dan perasaan.  Inilah diriku, diciptakan dengan perasaan, emosi dan kehendak, aku manusia. Perasaan yang kadang membuai, tetapi kadang juga mematikan. Perasaan mudah berubah-ubah, perasaan mengikuti alur hidup yang kualami, terkadang puas, terkadang frustasi. Perasaan mudah diombang-ambingkan, karena itulah alasan perasaan tidak bisa menjadi pegangan yang kuat. Namun perasaan tidak salah, perasaan diciptakan agar aku peka. Perasaan dipakai agar aku dapat mempertimbangkan, walau ini bukan mjd dasar atas s

Kekacauan di Pikiranku #4

Hmm oke.. beberapa hari ini aku berpikir.. aku banyak menghabiskan waktuku untuk tidak melakukan apa-apa selain menonton TV (I know its not a good ide to solve the problem, but i just wanna do it even my mind wasnt there). Aku tidak melakukan apa-apa bukan tanpa sebab, tetapi aku sedang menghindari sesuatu. Aku bukan anak bodoh, maksudku, dulu aku begitu antusias untuk belajar banyak hal dan aku selalu tidak mau kalah dalam berkompetisi dengan anak-anak lainnya. Aku selalu ingin menjadi yang berbeda... Aku akan jealous jika anak lain lebih baik dan lebih banyak dipuji. aku tau ini respon yang buruk. Tetapi jika aku menekannya, aku merasa bukan menjadi diriku sendiri. Aku payah ya. Aku merasa mungkin aku adalah seseorang yang selalu ingin mencari perhatian, setiap aku ketawa atau berbicara, aku pasti memiliki suara yang cukup keras. Dalam sebuah perkumpulan, aku pasti akan selalu mengutarakan pendapatku. Sesungguhnya, Aku lelah menghadapi diriku yang seperti ini. Dulu aku sangat sen

myart GALERY

Ini karya iseng main Twisted Brush OPEN STUDIO....i love it,,,:D pot bunga (gak jelas tp lumayanlah menurutku) ini gambar iseng2an waktu sendirian gak ada temen #halah ini potret diri Naga haus darah (suasana hati ketika banyak tugas kuliah)