Langsung ke konten utama

Sekolah Sepi #2

Aku merasa semua memori menyerangku bertubi-tubi ketika aku menginjakkan kaki tepat di gerbang sekolah dasarku dulu. Gerbang yang sebenarnya dulu jarang aku lewati karena selama bersekolah di situ aku selalu datang terlambat jadi selalu lewat gerbang belakang dan bersiap untuk menerima hukuman dari guru. Hampir semua jenis hukuman sudah aku rasakan, mulai dari yang ringan hanya berdiri dengan posisi hormat di depan tiang bendera. Sampai saat ini aku masih bertanya-tanya kenapa harus ada hukuman seperti itu, aku tidak merasakan ada sesuatu yang aku harus pelajari selain menggerutu karena kepanasan dan lengan yang lelah. Atau hukuman menjadi pemimpin senam di depan, awalnya aku malu tetapi hukuman ini lebih berfaedah, selain aku menjadi lebih sehat, aku juga kecipratan menjadi terkenal saat itu. Atau membersihkan taman sekolah dari sampah dan rumput liar. Atau membersihkan toilet umum sekolah yang tidak perlu ditanyakan kondisinya yang sangat memprihatinkan, aku sering kehilangan selera makan saat jam istirahat setelah menyelesaikan hukuman tersebut. Masih banyak hukuman lain yang aku dapatkan yang aku tidak akan ceritakan lagi karena terlalu memalukan.

Mungkin kalian berpikir betapa badungnya diriku saat SD, selalu datang terlambat, melakukan berbagai macam hukuman, belum lagi masalah lain yang kuhadapi seperti ketertinggalanku dalam mengikuti pelajaran, selalu dihukum di depan kelas karena tidak bisa perkalian, atau selalu tidak membawa buku paket, atau seragam yang tidak seharusnya di hari itu. Hmm, sebenarnya aku bukan anak badung karena aku tidak melakukan perlawanan atau pemberontakan, hanya saja guru-guru pada zaman itu jarang mempertanyakan alasan kenapa aku seperti itu. Di mata mereka ya aku tetap salah karena aku tidak seperti anak lainnya yang selalu patuh dan taat. Sebenarnya aku juga anak yang patuh, hanya saja banyak hal terjadi tidak sesuai dengan keinginanku. Aku bisa apa? Selain diam dan menerima saja konsekuensi jika aku tidak memenuhi standar di sekolah pada saat itu. Bisa diterima di sekolah favorit itu saja sudah cukup, aku tidak tau apa yang ayahku lakukan sehingga anak biasa-biasa saja seperti aku ini bisa diterima. Aku tidak ingin menuntut lebih dari apa yang sudah kuterima. Aku terima dan jalani saja, semua pasti akan terlewati seperti sebelum-sebelumnya.

Aku tidak menyesalinya, malah aku senang, setidaknya semua yang kualami menjadi kenangan manis yang selalu kuingat saat aku dewasa ini. Tidak ada yang berubah dengan sekolah ini, semua posisi kelas, kantor guru, halaman dan taman pada tempatnya persis seperti 20 tahun yang lalu. Hanya aku merasa kenapa sekolah ini terasa lebih kecil ukurannya.

“Hmm mungkin karena sekarang aku yang sudah dewasa, dulu kan aku masih kecil jadi sekolah ini terasa luas dan besar”.

Dahulu sekolah ini terasa ramai dan hidup, banyak anak-anak berlarian ke sana kemari, kakak-kakak kelas sok keren yang tebar pesona dengan bermain basket, sekelompok anak yang tanya jawab sebelum ulangan harian setelah jam istirahat, anak-anak yang keluar masuk perpustakaan sambil membawa setumpuk buku yang entah benar-benar dibaca atau sekedar ikut-ikutan agar mendapat predikat siswa teladan yang paling banyak pinjam buku. Pokoknya sekolah ini ramai dan berisik sekali. Sekarang benar-benar senyap, taman tidak terpelihara, halaman paving mulai ditumbuhi rumput, aku melihat plavon-plavon yang lapuk termakan usia, genteng-genteng usang yang kelihatannya tak akan terselamatkan saat musim hujan nanti.

“Cari apa ya mba?”, seorang bapak tiba-tiba muncul dari balik pohon besar di taman depan dengan mata melotot.

“Syukurlah aku masih dipanggil mba, bukan ibu”, kataku dalam hati. Karena menggunakan masker, aku sering dipanggil ibu. Yah walaupun usiaku sudah 30an tapi mukaku belum keliatan tua lah. Semoga.

“Oh, kaget saya bapak tiba-tiba muncul di balik pohon”, dengan suara terkaget dengan tangan di dada.

“Hee maaf mba, soalnya saya lagi bersih-bersih taman, terus saya liat mba berdiri sambil melamun di depan gerbang. Saya takutnya mba nanti bisa kena hipnotis orang kalau melamun gitu. Lagi pandemi gini banyak orang jadi jahat mba”, kata bapak itu sambil mengusap keringatnya. Aku bisa merasakan aroma keringatnya tertiup angin.

“Bapak, pak Beni ya?”, kataku sambil mengingat-ingat.

“Oh saya adiknya, pak Beni sudah meninggal 3 tahun lalu, saya yang menggantikan beliau.”

“Oh turut berduka ya pak, saya pikir tadi pak Beni karena mirip sekali.”

“Iya gak papa mba, oh ya ada urusan apa ya mba?”

“Hmm Saya cuma mampir sebentar pak, pengen liat kondisi sekolah, dulu saya pernah sekolah di sini”.

“Oh mba ini alumni SD ini to, yaudah masuk aja mba liat ke dalam”

“Gak papa pak, saya cuma sebentar, liat dari depan saja sudah cukup”

“Oh begitu, santai saja ya mba, saya mau lanjut bekerja lagi”

“Oke pak, terima kasih”

“Iya mba, monggo”

“Nggih pak”

Lalu bapak itu berdiri membawa parang dan arit, beranjak ke taman samping sekolah untuk melanjutkan pekerjaannya. Tetapi anehnya di saku belakangnya ada sarung tangan abu-abu yang tergantung dan ada bercak merah seperti darah.

“Ah, mungkin itu cuma cat”.

Tapi saat aku mencium aroma keringatnya yang tertiup angin, samar-samar aroma tersebut tercampur dengan bau amis.

“Ah, mungkin bapak itu habis makan ikan bakar”.

Sebenarnya agak aneh waktu bapak itu menyapaku pertama kali tadi, seolah-olah dia sedang tertangkap melakukan sesuatu dan nada suaranya seolah-olah ingin mengusirku jauh-jauh, atau saat dia menawarkanku masuk ke dalam sekolah seolah-olah dia ingin menghilangkan saksi yang mengancam dirinya.

“Ini mah efek kebanyakan baca novel kriminal, jadi mikir yang aneh-aneh kan”.

Hpku tiba-tiba berdering memecah keheningan di gerbang sekolah itu dan membuyarkan pikiranku yang aneh-aneh itu.

“Kakak, ada dimana? Udah sampe bandara?”, adik laki-lakiku menelepon.

“Oi bro, ni lagi di….”

Tiba-tiba kepalaku terasa nyeri dan pandanganku menjadi gelap.

--Bersambung…


~rest

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak Pernah Sama

 Hidup itu tidak pernah sama, miliaran orang di muka bumi ini memiliki jalan kehidupannya masing-masing. Memiliki pilihan masing-masing. Tidak pernah akan sama. Kenapa ya ketika melihat kehidupan orang lain, aku selalu merasa ingin merasakan menjadi seperti mereka. Setiap hari aku selalu bertanya di dalam kepala dan benakku, kenapa jalan hidupku seperti ini. Kenapa aku tidak bisa seperti orang-orang pada umumnya yang sepantaran usianya sepertiku. Di usiaku ini seharusnya aku sudah memiliki pekerjaan mapan, menikah, menyenangkan orang tua dan keluarga. Tetapi aku belum bisa. Terkadang aku merasa gagal, apa yang telah kulakukan selama ini? Kenapa jalan-jalan yang kupilih rasanya jauh dan lambat.  Kita seharusnya tidak membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain, kita harus bersyukur untuk apapun yang kita miliki. Ya aku setuju, tetapi kenapa ya aku selalu saja tergoda untuk memimpikan kehidupan orang lain. Andai saja aku seperti dia, andai saja aku memilih jalan seperti di...

Maafkan Aku, Diriku

Maafkan aku ya diriku, aku terlalu pengecut sehingga aku lebih memilih melarikan diri dan bersembunyi. Aku merasa sebuah proses begitu melelahkan, padahal aku membutuhkannya. Aku terlalu terlena mencari kenyamanan diri, sehingga aku lupa bahwa hidup tidak selalu indah seperti foto/video yang dishare di media sosial. Aku lupa bahwa hidup itu bukan media sosial. Aku terlalu sibuk merapikan yang di luar, aku lupa untuk mengasah apa yang ada di dalam. Maafkan aku ya diriku, aku lebih suka mendengar apa kata orang daripada apa yang benar untuk dilakukan sehingga aku membuatmu terombang-ambing. Membuatku terkurung pada pikiran-pikiran sempit dan berjalan pada lorong sempit yang dilewati oleh kebanyakan orang. aku lupa bahwa aku perlu keluar lorong untuk melihat langit dan padang rumput yang luas. Apa sebenarnya yang kucari? apa sebenarnya yang kuinginkan? apa yang benar-benar aku butuhkan? apa sebenarnya yang membuatku seolah terburu-buru dalam menjalani kehidupan. Tak pernah aku melihat tah...

[CERPEN] Cerdik Bukan Licik, Tulus Bukan Bulus.

Selain pandai menyimpan dendam, si Elam dikenal pandai menyimpan uang alias menabung dibandingkan anggota keluarga yang lain. Walau hidup susah, Elam selalu memegang erat ajaran gurunya bu Morela yaitu, “Hemat pangkal kaya”. Eh sebentar, nampaknya pepatah ini tidak asing dan sepertinya kurang lengkap. Oh iya, kalimat awalnya sengaja ia abaikan, mungkin karena kata “Kaya” lebih menarik perhatiannya. “Biarlah gak rajin belajar, yang penting pandai berhemat, lagian siapa yang tidak mau jadi kaya? Siapa yang mau hidup susah terus?”, pikirnya. Dia tidak benar-benar memahami pepatah itu seutuhnya, karena otaknya yang begitu cetek. Walaupun begitu, ia memang dikenal pandai berhemat bukan karena ia memiliki banyak uang untuk ditabung, tetapi karena hidup yang susah mengharuskan ia untuk hidup hemat, entah hemat atau kikir beda tipis seperti paman Gober. Tapi minimal ada hal positif yang dia teladani dari paman Gober yaitu hidup hemat, sehingga bisa menabung. Pertanyaannya adalah bagaimana ...