Aku merasa semua memori menyerangku bertubi-tubi ketika aku menginjakkan kaki tepat di gerbang sekolah dasarku dulu. Gerbang yang sebenarnya dulu jarang aku lewati karena selama bersekolah di situ aku selalu datang terlambat jadi selalu lewat gerbang belakang dan bersiap untuk menerima hukuman dari guru. Hampir semua jenis hukuman sudah aku rasakan, mulai dari yang ringan hanya berdiri dengan posisi hormat di depan tiang bendera. Sampai saat ini aku masih bertanya-tanya kenapa harus ada hukuman seperti itu, aku tidak merasakan ada sesuatu yang aku harus pelajari selain menggerutu karena kepanasan dan lengan yang lelah. Atau hukuman menjadi pemimpin senam di depan, awalnya aku malu tetapi hukuman ini lebih berfaedah, selain aku menjadi lebih sehat, aku juga kecipratan menjadi terkenal saat itu. Atau membersihkan taman sekolah dari sampah dan rumput liar. Atau membersihkan toilet umum sekolah yang tidak perlu ditanyakan kondisinya yang sangat memprihatinkan, aku sering kehilangan selera makan saat jam istirahat setelah menyelesaikan hukuman tersebut. Masih banyak hukuman lain yang aku dapatkan yang aku tidak akan ceritakan lagi karena terlalu memalukan.
Mungkin
kalian berpikir betapa badungnya diriku saat SD, selalu datang terlambat,
melakukan berbagai macam hukuman, belum lagi masalah lain yang kuhadapi seperti
ketertinggalanku dalam mengikuti pelajaran, selalu dihukum di depan kelas
karena tidak bisa perkalian, atau selalu tidak membawa buku paket, atau seragam
yang tidak seharusnya di hari itu. Hmm, sebenarnya aku bukan anak badung karena aku tidak melakukan perlawanan atau pemberontakan, hanya saja guru-guru pada zaman itu jarang mempertanyakan alasan kenapa aku seperti itu.
Di mata mereka ya aku tetap salah karena aku tidak seperti anak lainnya yang selalu
patuh dan taat. Sebenarnya aku juga anak yang patuh, hanya saja banyak hal
terjadi tidak sesuai dengan keinginanku. Aku bisa apa? Selain diam dan menerima
saja konsekuensi jika aku tidak memenuhi standar di sekolah pada saat itu. Bisa
diterima di sekolah favorit itu saja sudah cukup, aku tidak tau apa yang ayahku
lakukan sehingga anak biasa-biasa saja seperti aku ini bisa diterima. Aku tidak
ingin menuntut lebih dari apa yang sudah kuterima. Aku terima dan jalani saja,
semua pasti akan terlewati seperti sebelum-sebelumnya.
Aku
tidak menyesalinya, malah aku senang, setidaknya semua yang kualami menjadi
kenangan manis yang selalu kuingat saat aku dewasa ini. Tidak ada yang berubah
dengan sekolah ini, semua posisi kelas, kantor guru, halaman dan taman pada
tempatnya persis seperti 20 tahun yang lalu. Hanya aku merasa kenapa sekolah
ini terasa lebih kecil ukurannya.
“Hmm
mungkin karena sekarang aku yang sudah dewasa, dulu kan aku masih kecil jadi
sekolah ini terasa luas dan besar”.
Dahulu
sekolah ini terasa ramai dan hidup, banyak anak-anak berlarian ke sana kemari,
kakak-kakak kelas sok keren yang tebar pesona dengan bermain basket, sekelompok
anak yang tanya jawab sebelum ulangan harian setelah jam istirahat, anak-anak
yang keluar masuk perpustakaan sambil membawa setumpuk buku yang entah
benar-benar dibaca atau sekedar ikut-ikutan agar mendapat predikat siswa
teladan yang paling banyak pinjam buku. Pokoknya sekolah ini ramai dan berisik
sekali. Sekarang benar-benar senyap, taman tidak terpelihara, halaman paving
mulai ditumbuhi rumput, aku melihat plavon-plavon yang lapuk termakan usia,
genteng-genteng usang yang kelihatannya tak akan terselamatkan saat musim hujan
nanti.
“Cari
apa ya mba?”, seorang bapak tiba-tiba muncul dari balik pohon besar di taman
depan dengan mata melotot.
“Syukurlah
aku masih dipanggil mba, bukan ibu”, kataku dalam hati. Karena menggunakan
masker, aku sering dipanggil ibu. Yah walaupun usiaku sudah 30an tapi mukaku
belum keliatan tua lah. Semoga.
“Oh,
kaget saya bapak tiba-tiba muncul di balik pohon”, dengan suara terkaget dengan
tangan di dada.
“Hee
maaf mba, soalnya saya lagi bersih-bersih taman, terus saya liat mba berdiri
sambil melamun di depan gerbang. Saya takutnya mba nanti bisa kena hipnotis
orang kalau melamun gitu. Lagi pandemi gini banyak orang jadi jahat mba”, kata
bapak itu sambil mengusap keringatnya. Aku bisa merasakan aroma keringatnya
tertiup angin.
“Bapak,
pak Beni ya?”, kataku sambil mengingat-ingat.
“Oh
saya adiknya, pak Beni sudah meninggal 3 tahun lalu, saya yang menggantikan
beliau.”
“Oh
turut berduka ya pak, saya pikir tadi pak Beni karena mirip sekali.”
“Iya
gak papa mba, oh ya ada urusan apa ya mba?”
“Hmm
Saya cuma mampir sebentar pak, pengen liat kondisi sekolah, dulu saya pernah
sekolah di sini”.
“Oh
mba ini alumni SD ini to, yaudah masuk aja mba liat ke dalam”
“Gak
papa pak, saya cuma sebentar, liat dari depan saja sudah cukup”
“Oh
begitu, santai saja ya mba, saya mau lanjut bekerja lagi”
“Oke
pak, terima kasih”
“Iya
mba, monggo”
“Nggih
pak”
Lalu
bapak itu berdiri membawa parang dan arit, beranjak ke taman samping sekolah
untuk melanjutkan pekerjaannya. Tetapi anehnya di saku belakangnya ada sarung
tangan abu-abu yang tergantung dan ada bercak merah seperti darah.
“Ah,
mungkin itu cuma cat”.
Tapi
saat aku mencium aroma keringatnya yang tertiup angin, samar-samar aroma
tersebut tercampur dengan bau amis.
“Ah,
mungkin bapak itu habis makan ikan bakar”.
Sebenarnya
agak aneh waktu bapak itu menyapaku pertama kali tadi, seolah-olah dia sedang
tertangkap melakukan sesuatu dan nada suaranya seolah-olah ingin mengusirku
jauh-jauh, atau saat dia menawarkanku masuk ke dalam sekolah seolah-olah dia
ingin menghilangkan saksi yang mengancam dirinya.
“Ini
mah efek kebanyakan baca novel kriminal, jadi mikir yang aneh-aneh kan”.
Hpku
tiba-tiba berdering memecah keheningan di gerbang sekolah itu dan membuyarkan
pikiranku yang aneh-aneh itu.
“Kakak,
ada dimana? Udah sampe bandara?”, adik laki-lakiku menelepon.
“Oi
bro, ni lagi di….”
Tiba-tiba
kepalaku terasa nyeri dan pandanganku menjadi gelap.
--Bersambung…
~rest
Komentar
Posting Komentar