Langsung ke konten utama

Tidak Pernah Sama

 Hidup itu tidak pernah sama, miliaran orang di muka bumi ini memiliki jalan kehidupannya masing-masing. Memiliki pilihan masing-masing. Tidak pernah akan sama. Kenapa ya ketika melihat kehidupan orang lain, aku selalu merasa ingin merasakan menjadi seperti mereka. Setiap hari aku selalu bertanya di dalam kepala dan benakku, kenapa jalan hidupku seperti ini. Kenapa aku tidak bisa seperti orang-orang pada umumnya yang sepantaran usianya sepertiku. Di usiaku ini seharusnya aku sudah memiliki pekerjaan mapan, menikah, menyenangkan orang tua dan keluarga. Tetapi aku belum bisa. Terkadang aku merasa gagal, apa yang telah kulakukan selama ini? Kenapa jalan-jalan yang kupilih rasanya jauh dan lambat. 

Kita seharusnya tidak membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain, kita harus bersyukur untuk apapun yang kita miliki. Ya aku setuju, tetapi kenapa ya aku selalu saja tergoda untuk memimpikan kehidupan orang lain. Andai saja aku seperti dia, andai saja aku memilih jalan seperti dia, andai saja... andai saja.. Selain berandai-andai, aku juga merasa hidup ini tidak adil. Kenapa ya orang seperti itu bisa memiliki yang baik-baik. Kenapa aku biasa saja? Apakah memang ada 2 jenis takdir manusia? Yang satu menjadi luar biasa, yang satu menjadi biasa saja. Aku merasa menjadi orang yang malang dan tidak biasa. 

Tulisan ini kesannya seperti orang yang terlalu mengeluh. Apakah mengeluh itu salah? Aku tau banyak kata-kata positif, aku tidak butuh dinasihati kata-kata motivasi. Semua informasi tersebut banyak bermunculan di timeline sosial mediaku. Aku setuju dan terbangun dengan semua itu, tapi aku juga tidak munafik, menyangkal bahwa jauh di dalam lubuk hatiku aku menyimpan perasaan kecewa, merasa gagal, merasa tidak berguna. Sejujurnya, hidupku cukup, aku bersyukur untuk itu. Banyak teman-teman yang memiliki beban yang mungkin berlipat-lipat lebih berat dari hidupku. Aku merasa malu. 

Aku sadar ada sesuatu dalam diriku yang menghambat dan itu adalah proses yang harus aku lalui, aku nikmati dan terus aku renungkan. Hanya aku yang dapat mengendalikan pikiranku, perasaanku, respon dan tindakanku. Hanya aku yang dapat mengelola diriku, mana yang perlu aku beri makan dan mana yang seharusnya tidak. Perasaan bersyukur atau iri. Keinginan kuat atau kemalasan. Membangun diri atau membandingkan diri dengan orang lain. 

Aku tidak akan pernah bisa menjadi mereka dan sebaliknya. Aku punya jalan dan waktuku sendiri, aku yang menjalaninya. Melihat dan menginginkan kehidupan orang lain tidak akan ada habisnya. Membuat kita semakin terpuruk padahal banyak hal-hal baik menanti ketika kita memilih untuk fokus pada jalan yang ada di depan kita. Semoga keluhan ini menjadi pengingat bahwa aku adalah manusia lemah dan tidak sempurna, aku perlu waktu untuk mengumpulkan sisa-sisa tenaga dan pikiran positif untuk bangkit kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maafkan Aku, Diriku

Maafkan aku ya diriku, aku terlalu pengecut sehingga aku lebih memilih melarikan diri dan bersembunyi. Aku merasa sebuah proses begitu melelahkan, padahal aku membutuhkannya. Aku terlalu terlena mencari kenyamanan diri, sehingga aku lupa bahwa hidup tidak selalu indah seperti foto/video yang dishare di media sosial. Aku lupa bahwa hidup itu bukan media sosial. Aku terlalu sibuk merapikan yang di luar, aku lupa untuk mengasah apa yang ada di dalam. Maafkan aku ya diriku, aku lebih suka mendengar apa kata orang daripada apa yang benar untuk dilakukan sehingga aku membuatmu terombang-ambing. Membuatku terkurung pada pikiran-pikiran sempit dan berjalan pada lorong sempit yang dilewati oleh kebanyakan orang. aku lupa bahwa aku perlu keluar lorong untuk melihat langit dan padang rumput yang luas. Apa sebenarnya yang kucari? apa sebenarnya yang kuinginkan? apa yang benar-benar aku butuhkan? apa sebenarnya yang membuatku seolah terburu-buru dalam menjalani kehidupan. Tak pernah aku melihat tah...

[CERPEN] Cerdik Bukan Licik, Tulus Bukan Bulus.

Selain pandai menyimpan dendam, si Elam dikenal pandai menyimpan uang alias menabung dibandingkan anggota keluarga yang lain. Walau hidup susah, Elam selalu memegang erat ajaran gurunya bu Morela yaitu, “Hemat pangkal kaya”. Eh sebentar, nampaknya pepatah ini tidak asing dan sepertinya kurang lengkap. Oh iya, kalimat awalnya sengaja ia abaikan, mungkin karena kata “Kaya” lebih menarik perhatiannya. “Biarlah gak rajin belajar, yang penting pandai berhemat, lagian siapa yang tidak mau jadi kaya? Siapa yang mau hidup susah terus?”, pikirnya. Dia tidak benar-benar memahami pepatah itu seutuhnya, karena otaknya yang begitu cetek. Walaupun begitu, ia memang dikenal pandai berhemat bukan karena ia memiliki banyak uang untuk ditabung, tetapi karena hidup yang susah mengharuskan ia untuk hidup hemat, entah hemat atau kikir beda tipis seperti paman Gober. Tapi minimal ada hal positif yang dia teladani dari paman Gober yaitu hidup hemat, sehingga bisa menabung. Pertanyaannya adalah bagaimana ...