Langsung ke konten utama

[CERPEN] Semua Gara-gara Iklan

Photo by Jo San Diego on Unsplash

Hari itu cerah sedikit berawan berbentuk seperti kue serabi, melihat awan saja rasanya sudah kenyang. Entah kerasukan apa, Elam tiba-tiba mengambil gunting dan pergi ke dapur. Di dapur ada nenek dan ibunya sedang mempersiapkan makan siang. Ia ke dapur dengan tergesa-gesa sambil memegang sebuah gunting besar.
"Kamu ngapain ke sini bawa gunting?", tanya neneknya sambil melihat gunting di tangannya dengan posisi waspada. Elam dengan mata melotot menghiraukan pertanyaan neneknya. Makin kuatir dengan kondisi cucunya yang memang agak aneh itu, si nenek mendekat ke menantunya, "Kenapa itu si bocah?". "Udah biarin aja nek, paling dia habis kena hipnotis", kata ibunya Elam. Dengan dahi mengerut, si nenek kembali mengupas bawang merah yang sempat membuat matanya berair sambil menghiraukan Elam yang seperti orang kehilangan mencari sesuatu di setiap laci, wadah, lemari, bawah meja, dalam toples, dan sudut-sudut dapur.
"Kayaknya aku pernah liat itu barang di dapur", keluhnya dalam hati sambil mencari-cari di dapur. Padahal sebenarnya dia bisa bertanya pada ibu atau neneknya, tapi karena memang si Elam ini orangnya sangat fokus, jadi setiap ia mencari sesuatu ia akan cari dahulu sendiri sebelum bertanya pada orang lain. Sebenarnya ketika Dia memperoleh suatu informasi berharga dia ingin hanya dirinya saja yang tahu, dia tidak suka jika ada orang lain yang tahu. Tanpa diajari, seorang anak bisa menjadi egois.
Setelah 30 menit ia mencari-cari sesuatu di dapur, akhirnya ia menyerah dan mau tidak mau ia harus bertanya pada ibunya. "Mah, tepung yang waktu itu ada di lemari sekarang dimana?". "Mau buat apa?", tanya ibunya. "Adalah pokoknya, mana mah?", jawabnya. "Mau bikin apa sih pake bawa-bawa gunting segala?", timpal neneknya. "Adalah pokoknya nek, nenek gak tau apa-apa, pokoknya aku mau melakukan sesuatu yang bisa mengubah kondisi kita yang susah ini", jawabnya sok bijak. "Halah gayamu! Bocah semprul!", tiba-tiba ayahnya ikut nimbrung. "Beneran ini pah, aku gak becanda", jawabnya dengan muka yang sangat serius melebihi wajah para politikus yang sedang berdebat memutuskan mana UU yang akan diloloskan (demi kepentingan mereka..ups).
Benar sesuai prediksi ibunya, Elam terhipnotis iklan yang ia tonton pagi itu saat menonton kemos (alias kartun) doraemon. Kenapa disebut kemos? Karena pada jaman itu tokoh disney mickey mouse sedang terkenal, karena kami anak-anak kampung tidak bisa menyebut dengan benar, jadilah kemos, dan semua kartun dipukul rata namanya menjadi kemos, sekian informasi yang sangat penting ini, kembali ke cerita Elam. Gara-gara Iklan itu membuat dia hampir dikutuk menjadi bawang goreng oleh neneknya. Bagaimana tidak merasuki pikirannya, acara kartun yang ia tonton selama 30 menit diselingi iklan 75 detik setiap 3 menit dan iklan yang sama berkali-kali. Memang benar ya kekuatan iklan itu bisa merasuk sampai ke alam bawah sadar, sampai benar-benar memanipulasi pikiran seseorang bahwa itulah yang ia sangat butuhkan. 
Kondisi keluarga itu sangat pas-pasan, bisa makan tiga kali sehari saja sudah syukur. Elam dan adiknya sering menumpang tetangga saat berangkat sekolah agar ayahnya bisa menghemat bensin. Mendekati akhir bulan pasti makanan utama mereka indomie atau ikan asin. Tidak heran jika kedua orang tuanya menderita darah tinggi akibat akumulasi ikan asin yang dikonsumsi di dalam darah dan tubuh. Kehidupan yang susah membuat Elam sering berhalusinasi andai ia bisa memperoleh hadiah agar memperbaiki kesejahteraan keluarganya. Pemikiran bocah SD negeri mentari bersinar ini sebenarnya sungguh mulia, bukan?
Setelah terpapar iklan sebuah produk tepung berhadiah mobil dan uang tunai dengan syarat mengirimkan tiga logo pada sebuah amplop untuk dikirim dan diundi. Kartun yang ia tonton selesai, ia langsung bergegas mengambil gunting lalu ke dapur mencari bungkus tepung yang pernah ia lihat sesuai dengan produk pada iklan tersebut. "Dimana nih jadinya bungkus tepung itu mah? Aku mau kirim supaya kita bisa dapat hadiah mobil, gak usah susah lagi 1 motor dinaikin 5 orang", ucapnya dengan lantang. "Oh jadi kamu bosan naik motor?", ejek ayahnya. "Bukan gitu, ya supaya kita gak susah aja, kalo ada mobil kan enak", jawabnya. "Iya juga sih, tuh tepungnya di dalam kardus di atas lemari", jawab ibunya. 
Segera Elam mengambil dingklik (semacam kursi kecil biasa dipake duduk buat nyuci atau kupas bawang, merajang sayur dsb) lalu ia menggapai kardus di atas lemari itu. "Masih ada isinya nih, tepungnya aku taroh mana?", tanyanya. "Taruh aja di plastik atau toples", kata neneknya dengan sabar melihat tingkah cucunya. Ayah dan ibunya hanya geleng-geleng kepala sambil elus-elus dada, menahan diri daripada mengelus-elus kepala si elam dengan sedikit tekanan agak keras biar dia bangun dari mimpinya.
Setelah ia pindah isi tepung itu ke plastik lalu mengembalikan ke kardus seperti semula. Segera ia menggunakan guntingnya untuk memotong tiga logo dari bungkus tersebut, lalu memasukkan ke dalam amplop, menulis tujuan pengiriman persis seperti syarat pada iklan tersebut. Setelah selesai mempersiapkan semuanya itu, ia berikan kepada ayahnya untuk dikirimkan. Lalu ayahnya bertanya, "Apakah sudah benar sesuai syarat". "Kayaknya sudah pah", jawabnya. "Ok kalau begitu", kata ayahnya. "Bener-bener dikirim ya pah, supaya bisa diundi, siapa tau dapat hadiah", desaknya pada ayahnya. "Iya iya", kata ayahnya.
Ia masuk kamarnya dan membaca komik paman Gober sumbangan anak teman ayahnya yang pindah ke Jakarta. Ia sangat senang membaca komik paman Gober itu, bahkan ia baca berkali-kali sampai ia hafal setiap volume komik tersebut alur ceritanya apa. Sebenarnya inti alur ceritanya sama di semua ceritanya, apapun permasalahan atau konflik yang ada endingnya pasti berakhir pada paman Gober dan gedung bank pribadi miliknya yang berisi banyak koin harta karun yang ia kumpulkan. 
Baginya, Karakter Paman Gober itu sangat unik. Paman Gober itu memiliki banyak orang-orang yang peduli di sekelilingnya, tetapi hidup paman Gober itu tidak santai, selalu kuatir dengan koin-koin hartanya dan sangat pelit dan curang. Semakin ia mendalami cerita komik paman Gober itu, ia menjadi kasian pada paman Gober. Padahal ia bisa saja melakukan lebih banyak hal daripada terikat pada hartanya yang banyak itu.
Dalam pemahamannya yang masih dangkal seperti anak-anak SD pada umumnya, ia hanya merespon sesuatu secara dangkal pula yang ada di depan matanya. Ia melihat keluarganya hidup susah, ia berharap pada hadiah undian untuk merubah taraf hidup keluarganya. Cerita paman Gober membuatnya sadar bahwa memiliki segala sesuatu yang diinginkan belum tentu menjamin kebahagiaan, malah bisa membuat lebih banyak kuatir dan tidak tenang dalam menjalani hidup. 
Dia tidak ingin seperti paman Gober, ia ingin hidup bebas tanpa kuatir yang berlebihan dan bisa hidup tenang. Memang keluarganya susah tetapi tetap bisa makan, memang keluarganya susah tetapi tidak perlu banyak yang dikuatirkan selama mereka menjalaninya bersama-sama. Lebih baik susah bersama, daripada kaya tetapi saling mencurigai satu sama lain.
Sore itu ia mendatangi ayahnya dan berkata, "Mana pah amplop buat undian tadi, gak usah aja". "Kenapa tiba-tiba berubah?", tanya ayahnya. "Kita gini aja udah cukup, udah baik, yang penting kita sama-sama". "Oh gitu, tuh amplopnya ada di meja", ucap ayahnya dengan wajah lega akhirnya anaknya yang satu itu tobat dari kumatnya. Ia ambil amplop itu lalu ia robek menjadi dua bagian dan buang di bak sampah sambil berkata dalam hatinya, "Terima kasih paman Gober".

~Rest

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak Pernah Sama

 Hidup itu tidak pernah sama, miliaran orang di muka bumi ini memiliki jalan kehidupannya masing-masing. Memiliki pilihan masing-masing. Tidak pernah akan sama. Kenapa ya ketika melihat kehidupan orang lain, aku selalu merasa ingin merasakan menjadi seperti mereka. Setiap hari aku selalu bertanya di dalam kepala dan benakku, kenapa jalan hidupku seperti ini. Kenapa aku tidak bisa seperti orang-orang pada umumnya yang sepantaran usianya sepertiku. Di usiaku ini seharusnya aku sudah memiliki pekerjaan mapan, menikah, menyenangkan orang tua dan keluarga. Tetapi aku belum bisa. Terkadang aku merasa gagal, apa yang telah kulakukan selama ini? Kenapa jalan-jalan yang kupilih rasanya jauh dan lambat.  Kita seharusnya tidak membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain, kita harus bersyukur untuk apapun yang kita miliki. Ya aku setuju, tetapi kenapa ya aku selalu saja tergoda untuk memimpikan kehidupan orang lain. Andai saja aku seperti dia, andai saja aku memilih jalan seperti di...

Maafkan Aku, Diriku

Maafkan aku ya diriku, aku terlalu pengecut sehingga aku lebih memilih melarikan diri dan bersembunyi. Aku merasa sebuah proses begitu melelahkan, padahal aku membutuhkannya. Aku terlalu terlena mencari kenyamanan diri, sehingga aku lupa bahwa hidup tidak selalu indah seperti foto/video yang dishare di media sosial. Aku lupa bahwa hidup itu bukan media sosial. Aku terlalu sibuk merapikan yang di luar, aku lupa untuk mengasah apa yang ada di dalam. Maafkan aku ya diriku, aku lebih suka mendengar apa kata orang daripada apa yang benar untuk dilakukan sehingga aku membuatmu terombang-ambing. Membuatku terkurung pada pikiran-pikiran sempit dan berjalan pada lorong sempit yang dilewati oleh kebanyakan orang. aku lupa bahwa aku perlu keluar lorong untuk melihat langit dan padang rumput yang luas. Apa sebenarnya yang kucari? apa sebenarnya yang kuinginkan? apa yang benar-benar aku butuhkan? apa sebenarnya yang membuatku seolah terburu-buru dalam menjalani kehidupan. Tak pernah aku melihat tah...

[CERPEN] Cerdik Bukan Licik, Tulus Bukan Bulus.

Selain pandai menyimpan dendam, si Elam dikenal pandai menyimpan uang alias menabung dibandingkan anggota keluarga yang lain. Walau hidup susah, Elam selalu memegang erat ajaran gurunya bu Morela yaitu, “Hemat pangkal kaya”. Eh sebentar, nampaknya pepatah ini tidak asing dan sepertinya kurang lengkap. Oh iya, kalimat awalnya sengaja ia abaikan, mungkin karena kata “Kaya” lebih menarik perhatiannya. “Biarlah gak rajin belajar, yang penting pandai berhemat, lagian siapa yang tidak mau jadi kaya? Siapa yang mau hidup susah terus?”, pikirnya. Dia tidak benar-benar memahami pepatah itu seutuhnya, karena otaknya yang begitu cetek. Walaupun begitu, ia memang dikenal pandai berhemat bukan karena ia memiliki banyak uang untuk ditabung, tetapi karena hidup yang susah mengharuskan ia untuk hidup hemat, entah hemat atau kikir beda tipis seperti paman Gober. Tapi minimal ada hal positif yang dia teladani dari paman Gober yaitu hidup hemat, sehingga bisa menabung. Pertanyaannya adalah bagaimana ...