Berada di periode yang seharusnya memiliki posisi mapan, penghasilan tetap, berkeluarga, memiliki tabungan dan investasi, dan hal-hal lainnya yang sangat lumrah untuk di kejar di usia ini. Tetapi kenyataannya tidak, ia seperti terdampar menjalani realita yang tidak dibanggakan oleh orang-orang, memulai suatu ketidakpastian yang dibenci oleh sebagian besar orang. Ya usianya hampir 30 tahun, dan ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dengan berbagai macam alasan, padahal sebenarnya ia sendiri sedang mencari alasan mengenai keberadaan dirinya.
Banyak hal yang ia coba, tetapi ia merasa tak ada satupun yang menjadi fokus utamanya. Tahun-tahun hidupnya selama ini banyak ia habiskan untuk mengejar pengakuan orang lain, sampai pada akhirnya ia berada di ujung tebing yang curam dari jalan yang telah ia lalui dengan hanya menyisakan dua pilihan yaitu terjun saja sekalian atau kembali memutar sejenak melalui jalan yang lain. "Apa gak sayang berhenti dari pekerjaannya?", "Kamu yakin sama pilihanmu?", "Kamu mau hidup dari apa nanti?", "Jalan ini belum tentu menghasilkan banyak loh", "Kalau kerja seperti ini aja sih gak usah sampe sarjana", "Duh sayang banget dilepas kerjaannya di tengah kondisi sulit seperti ini" dan masih banyak lagi pertanyaan sekaligus pernyataan yang ditujukan padanya, entah dari orang-orang terdekat, isi hati orang-orang, dinding-dinding yang bergumam atau bahkan pikirannya sendiri.
Ada satu mimpi yang ia pendam tutup rapat-rapat, dimana ia pun tidak yakin kenapa mimpi itu bisa menyusup ke dalam batinnya. Ia merantau ke kota besar berharap ia menemukan dirinya dengan profesi dimana ia diterima bekerja. Ia ingin membuktikan apakah mimpi itu tetap betah berada dalam batinnya jika ia sibuk dengan profesi yang lain. Di tahun pertama ia berhasil melupakan sejenak mimpi itu, wajarlah namanya juga adaptasi dengan pekerjaan baru. Semakin ia masuk lebih dalam pada sistem saat itu, ia menemukan ketidakcocokan, tetapi sayangnya dia bukan manusia yang diciptakan dengan jenis mulut rasa pedas untuk menyampaikan keberatannya (padahal kan menyampaikan sesuatu tidak harus dengan rasa pedas ya), itulah akibat dari dorongan untuk menyenangkan orang lain lebih besar daripada menyayangi dirinya sendiri. Rasanya sudah tak tertahankan, ia semakin tenggelam dalam kekecewaannya dan berusaha mencari solusi dalam diam, merencanakan hengkang tanpa meninggalkan masalah. Ia memegang prinsipnya dengan erat yaitu bertemu baik-baik, pergi pun baik-baik. Tanpa disangka-sangka, di detik-detik akhir dia berhenti, beberapa kawannya mengajaknya ikut seminar yang isinya sangat menyinggung mimpi yang ia pendam lama. Ia pikir api mimpi itu sudah tidak terlalu membara lagi di dalam batinnya, ternyata ia salah. Api itu masih ada.
Meskipun api itu masih ada, ia masih meragu. Ia yakin itu hanya euforia sesaat, semacam reuni dengan mimpi lama yang bersemi kembali. Ia tetap mengabaikan mimpi itu. Mimpi itu teronggok kembali di salah satu sudut batinnya, berharap sang empunya hati kembali menyulutnya. Selesai dengan perkara di pekerjaan pertama, ia diterima bekerja di tempat lain. Ia berhasil disibukkan kembali dengan hingar bingar adaptasi pekerjaan. Pekerjaan ini lebih cocok dengan dirinya daripada yang sebelumnya yang selalu mengisap habis energinya. Ia pikir mungkin akan lebih lama di tempat ini. Tetapi waktu berkata lain, waktu berkoordinasi dengan semesta untuk mendesaknya mewujudkan mimpi itu, padahal dirinya sendiri tidak yakin dengan mimpi itu, tetapi seolah-olah ada kekuatan yang kuat mendorongnya. Ia akhirnya menyerah dan memutuskan untuk memberi kesempatan pada mimpi itu.
Salah satu hal yang paling dibanggakannya adalah kemampuan menulis. Sejak duduk di bangku sekolah dasar ia suka menulis diari. Entah darimana dia dapatkan ide untuk menulis diari, mungkin dari teman-temannya atau dari cerita sinetron. Ia sangat bersyukur untuk orang tua dan guru yang telah mengajarkannya menulis. Ia bukan orang yang pandai berbicara, sering ia tiba-tiba lupa dengan inti pembicaraan ketika ia diberi kesempatan berbicara lalu berakhir dengan melantur dan membuat hidupnya tidak tenang dengan "apa kata orang". Tetapi ketika menulis, ia bisa dengan lancar menyampaikan isi pikiran dan hatinya. Ia bukan seorang penulis, meskipun ia juga bercita-cita menjadi penulis, tetapi rasanya itu terlalu sulit untuk digapai. Bisa menulis dengan baik saja sudah syukur, gak usah ngayal yang lain-lain. Baginya, menulis itu ibarat sahabat baik yang selalu siap sedia menolong dan memegang tangannya ketika ia tersesat di dalam pikirannya sendiri. Menulis itu adalah terapi yang memulihkan jiwanya yang rapuh. Menulis membantunya menemukan dirinya yang seringkali kebingungan menentukan arah yang tepat. Menulis mungkin bukan solusi untuk setiap permasalahannya, tetapi menulis adalah alat seperti kompas yang membantunya menemukan arah.
Memulai mimpi itu tak mudah, menjalaninya pun tak mudah. Harus siap dengan apapun proses yang akan dihadapi. Ketika ia memutuskan untuk memulai, ia sangat sadar bahwa jalan di depan tidak pasti. Ia juga tidak bisa meyakinkan setiap orang apakah mimpinya ini akan berhasil. Tetapi ia memberikan kesempatan pada mimpi itu, ia juga akan fokus menulis (satu-satunya kemampuan yang ia andalkan meskipun belum bisa untuk mencari sesuap nasi). Ia akan berusaha, ia akan belajar sabar dan tekun untuk berproses. Ia yakin ada maksud dibalik semua yang terjadi pada dirinya, tidak ada yang kebetulan. Ia akan fokus kemana mimpi itu membawanya.
~Rest
Komentar
Posting Komentar