Langsung ke konten utama

Memberi Kesempatan Pada Mimpi

Photo by Johannes Plenio on Unsplash
Photo by Johannes Plenio on Unsplash

Berada di periode yang seharusnya memiliki posisi mapan, penghasilan tetap, berkeluarga,  memiliki tabungan dan investasi, dan hal-hal lainnya yang sangat lumrah untuk di kejar di usia ini. Tetapi kenyataannya tidak, ia seperti terdampar menjalani realita yang tidak dibanggakan oleh orang-orang, memulai suatu ketidakpastian yang dibenci oleh sebagian besar orang. Ya usianya hampir 30 tahun, dan ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dengan berbagai macam alasan, padahal sebenarnya ia sendiri sedang mencari alasan mengenai keberadaan dirinya. 

Banyak hal yang ia coba, tetapi ia merasa tak ada satupun yang menjadi fokus utamanya. Tahun-tahun hidupnya selama ini banyak ia habiskan untuk mengejar pengakuan orang lain, sampai pada akhirnya ia berada di ujung tebing yang curam dari jalan yang telah ia lalui dengan hanya menyisakan dua pilihan yaitu terjun saja sekalian atau kembali memutar sejenak melalui jalan yang lain. "Apa gak sayang berhenti dari pekerjaannya?", "Kamu yakin sama pilihanmu?", "Kamu mau hidup dari apa nanti?", "Jalan ini belum tentu menghasilkan banyak loh", "Kalau kerja seperti ini aja sih gak usah sampe sarjana", "Duh sayang banget dilepas kerjaannya di tengah kondisi sulit seperti ini" dan masih banyak lagi pertanyaan sekaligus pernyataan yang ditujukan padanya, entah dari orang-orang terdekat, isi hati orang-orang, dinding-dinding yang bergumam atau bahkan pikirannya sendiri.

Ada satu mimpi yang ia pendam tutup rapat-rapat, dimana ia pun tidak yakin kenapa mimpi itu bisa menyusup ke dalam batinnya. Ia merantau ke kota besar berharap ia menemukan dirinya dengan profesi dimana ia diterima bekerja. Ia ingin membuktikan apakah mimpi itu tetap betah berada dalam batinnya jika ia sibuk dengan profesi yang lain. Di tahun pertama ia berhasil melupakan sejenak mimpi itu, wajarlah namanya juga adaptasi dengan pekerjaan baru. Semakin ia masuk lebih dalam pada sistem saat itu, ia menemukan ketidakcocokan, tetapi sayangnya dia bukan manusia yang diciptakan dengan jenis mulut rasa pedas untuk menyampaikan keberatannya (padahal kan menyampaikan sesuatu tidak harus dengan rasa pedas ya), itulah akibat dari dorongan untuk menyenangkan orang lain lebih besar daripada menyayangi dirinya sendiri. Rasanya sudah tak tertahankan, ia semakin tenggelam dalam kekecewaannya dan berusaha mencari solusi dalam diam, merencanakan hengkang tanpa meninggalkan masalah. Ia memegang prinsipnya dengan erat yaitu bertemu baik-baik, pergi pun baik-baik. Tanpa disangka-sangka, di detik-detik akhir dia berhenti, beberapa kawannya mengajaknya ikut seminar yang isinya sangat menyinggung mimpi yang ia pendam lama. Ia pikir api mimpi itu sudah tidak terlalu membara lagi di dalam batinnya, ternyata ia salah. Api itu masih ada. 

Meskipun api itu masih ada, ia masih meragu. Ia yakin itu hanya euforia sesaat, semacam reuni dengan mimpi lama yang bersemi kembali. Ia tetap mengabaikan mimpi itu.  Mimpi itu teronggok kembali di salah satu sudut batinnya, berharap sang empunya hati kembali menyulutnya. Selesai dengan perkara di pekerjaan pertama, ia diterima bekerja di tempat lain. Ia berhasil disibukkan kembali dengan hingar bingar adaptasi pekerjaan. Pekerjaan ini lebih cocok dengan dirinya daripada yang sebelumnya yang selalu mengisap habis energinya. Ia pikir mungkin akan lebih lama di tempat ini. Tetapi waktu berkata lain, waktu berkoordinasi dengan semesta untuk mendesaknya mewujudkan mimpi itu, padahal dirinya sendiri tidak yakin dengan mimpi itu, tetapi seolah-olah ada kekuatan yang kuat mendorongnya. Ia akhirnya menyerah dan memutuskan untuk memberi kesempatan pada mimpi itu.

Salah satu hal yang paling dibanggakannya adalah kemampuan menulis. Sejak duduk di bangku sekolah dasar ia suka menulis diari. Entah darimana dia dapatkan ide untuk menulis diari, mungkin dari teman-temannya atau dari cerita sinetron. Ia sangat bersyukur untuk orang tua dan guru yang telah mengajarkannya menulis. Ia bukan orang yang pandai berbicara, sering ia tiba-tiba lupa dengan inti pembicaraan ketika ia diberi kesempatan berbicara lalu berakhir dengan melantur dan membuat hidupnya tidak tenang dengan "apa kata orang". Tetapi ketika menulis, ia bisa dengan lancar menyampaikan isi pikiran dan hatinya. Ia bukan seorang penulis, meskipun ia juga bercita-cita menjadi penulis, tetapi rasanya itu terlalu sulit untuk digapai. Bisa menulis dengan baik saja sudah syukur, gak usah ngayal yang lain-lain. Baginya, menulis itu ibarat sahabat baik yang selalu siap sedia menolong dan memegang tangannya ketika ia tersesat di dalam pikirannya sendiri. Menulis itu adalah terapi yang memulihkan jiwanya yang rapuh. Menulis membantunya menemukan dirinya yang seringkali kebingungan menentukan arah yang tepat. Menulis mungkin bukan solusi untuk setiap permasalahannya, tetapi menulis adalah alat seperti kompas yang membantunya menemukan arah.

Memulai mimpi itu tak mudah, menjalaninya pun tak mudah. Harus siap dengan apapun proses yang akan dihadapi. Ketika ia memutuskan untuk memulai, ia sangat sadar bahwa jalan di depan tidak pasti. Ia juga tidak bisa meyakinkan setiap orang apakah mimpinya ini akan berhasil. Tetapi ia memberikan kesempatan pada mimpi itu, ia juga akan fokus menulis (satu-satunya kemampuan yang ia andalkan meskipun belum bisa untuk mencari sesuap nasi). Ia akan berusaha, ia akan belajar sabar dan tekun untuk berproses. Ia yakin ada maksud dibalik semua yang terjadi pada dirinya, tidak ada yang kebetulan. Ia akan fokus kemana mimpi itu membawanya.


~Rest

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak Pernah Sama

 Hidup itu tidak pernah sama, miliaran orang di muka bumi ini memiliki jalan kehidupannya masing-masing. Memiliki pilihan masing-masing. Tidak pernah akan sama. Kenapa ya ketika melihat kehidupan orang lain, aku selalu merasa ingin merasakan menjadi seperti mereka. Setiap hari aku selalu bertanya di dalam kepala dan benakku, kenapa jalan hidupku seperti ini. Kenapa aku tidak bisa seperti orang-orang pada umumnya yang sepantaran usianya sepertiku. Di usiaku ini seharusnya aku sudah memiliki pekerjaan mapan, menikah, menyenangkan orang tua dan keluarga. Tetapi aku belum bisa. Terkadang aku merasa gagal, apa yang telah kulakukan selama ini? Kenapa jalan-jalan yang kupilih rasanya jauh dan lambat.  Kita seharusnya tidak membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain, kita harus bersyukur untuk apapun yang kita miliki. Ya aku setuju, tetapi kenapa ya aku selalu saja tergoda untuk memimpikan kehidupan orang lain. Andai saja aku seperti dia, andai saja aku memilih jalan seperti di...

Maafkan Aku, Diriku

Maafkan aku ya diriku, aku terlalu pengecut sehingga aku lebih memilih melarikan diri dan bersembunyi. Aku merasa sebuah proses begitu melelahkan, padahal aku membutuhkannya. Aku terlalu terlena mencari kenyamanan diri, sehingga aku lupa bahwa hidup tidak selalu indah seperti foto/video yang dishare di media sosial. Aku lupa bahwa hidup itu bukan media sosial. Aku terlalu sibuk merapikan yang di luar, aku lupa untuk mengasah apa yang ada di dalam. Maafkan aku ya diriku, aku lebih suka mendengar apa kata orang daripada apa yang benar untuk dilakukan sehingga aku membuatmu terombang-ambing. Membuatku terkurung pada pikiran-pikiran sempit dan berjalan pada lorong sempit yang dilewati oleh kebanyakan orang. aku lupa bahwa aku perlu keluar lorong untuk melihat langit dan padang rumput yang luas. Apa sebenarnya yang kucari? apa sebenarnya yang kuinginkan? apa yang benar-benar aku butuhkan? apa sebenarnya yang membuatku seolah terburu-buru dalam menjalani kehidupan. Tak pernah aku melihat tah...

[CERPEN] Cerdik Bukan Licik, Tulus Bukan Bulus.

Selain pandai menyimpan dendam, si Elam dikenal pandai menyimpan uang alias menabung dibandingkan anggota keluarga yang lain. Walau hidup susah, Elam selalu memegang erat ajaran gurunya bu Morela yaitu, “Hemat pangkal kaya”. Eh sebentar, nampaknya pepatah ini tidak asing dan sepertinya kurang lengkap. Oh iya, kalimat awalnya sengaja ia abaikan, mungkin karena kata “Kaya” lebih menarik perhatiannya. “Biarlah gak rajin belajar, yang penting pandai berhemat, lagian siapa yang tidak mau jadi kaya? Siapa yang mau hidup susah terus?”, pikirnya. Dia tidak benar-benar memahami pepatah itu seutuhnya, karena otaknya yang begitu cetek. Walaupun begitu, ia memang dikenal pandai berhemat bukan karena ia memiliki banyak uang untuk ditabung, tetapi karena hidup yang susah mengharuskan ia untuk hidup hemat, entah hemat atau kikir beda tipis seperti paman Gober. Tapi minimal ada hal positif yang dia teladani dari paman Gober yaitu hidup hemat, sehingga bisa menabung. Pertanyaannya adalah bagaimana ...