Langsung ke konten utama

Kota Sepi #1

Setelah 20 tahun, aku baru kembali ke kota masa kecilku untuk sekedar berkunjung. Kota yang tenang namun menghanyutkan. Orang dari luar pasti senang karena kota ini nampak damai dan aman terkendali. Aku masih ingat jalan-jalan kota ini, tidak banyak yang berubah. Jalan-jalan yang lebar, pohon-pohon besar di pinggir jalan, sedikit kendaraan yang melintas dan tidak pernah ada kemacetan. Hanya ramai saat anak sekolah berangkat dan pulang. Aku sengaja tidak langsung menuju rumah, aku melewati jalan yang dulu sering aku lewati. Jalan yang di pinggirnya area kantor dinas dan pemerintahan, salah satunya adalah tempat bekerja ayahku dulu. Saat pindah ke kota ini, ayahku sengaja mencari sekolah yang dekat dengan kantornya sehingga mudah untuk antar jemput.

Jalan itu hanya ramai saat jam kerja atau sekolah, diluar jam itu jalanan sangat sepi. Sebenarnya bukan hanya di jalan itu saja, secara keseluruhan kota itu akan menjadi sepi selain di jam kerja. Hanya pasar saja yang selalu ramai. Aku senang berada di kota ini, kota yang sepi, tidak sesibuk ibu kota dimana aku sekarang tinggali. Berbeda dengan dahulu, waktu kecil aku selalu ingin pergi merantau ke pulau yang lebih padat penduduknya karena aku muak dengan kota yang sepi ini, tetapi sekarang semakin usiaku bertambah, aku malah rindu ke kota yang sepi ini karena aku muak dengan kesibukan ibu kota. Manusia memang aneh ya, lebih tepatnya akulah manusia aneh itu.

Hanya 3 tahun sebenarnya aku berada di kota ini untuk menyelesaikan sisa pendidikan sekolah dasar, awalnya aku dari kampung yang lebih terpencil tetapi masih masuk dalam wilayah provinsi yang sama dengan kota ini. Maklum keluargaku suka berpindah-pindah. Aku paling berkesan dengan kota ini karena ada beberapa kejadian yang tak pernah kulupakan.

Aku menyusuri jalan ke sekolah dasarku dulu, ada 3 perempatan lampu merah yang harus kulewati. Aku ingat dahulu di perempatan ketiga ada penunggu yang terkenal di situ, seorang perempuan dengan tatapan kosong, ia tidak melakukan apapun. Ia hanya berdiri mematung di pinggir jalan melihat kendaraan yang jalan dan berhenti di lampu merah, sambil menenteng kantong plastik berwarna merah, entah isinya apa. Konon katanya, aku hanya dengar dari cerita teman-temanku saat pertama pindah ke sini, mereka bilang kalau perempuan itu dahulu adalah orang biasa tetapi menjadi gila karena kehilangan anaknya saat menyeberang di perempatan itu. Aku tidak tau apakah itu benar atau tidak, aku juga tidak berani bertanya langsung pada wanita itu. Aku takut dengan tatapannya yang kosong tetapi mengerikan.

Entah kenapa, saat pertama kali datang aku langsung kepikiran bagaimana kondisi perempuan ini. Seingatku dahulu ia mungkin berumur sekitar pertengahan 30an. Selain aku ingin nostalgia di jalan yang dahulu aku lewati setiap hari, aku juga penasaran apakah perempuan itu masih ada di perempatan itu. Hanya sekitar 20 menit dari bandara untuk sampai di jalan itu, aku minta berhenti di depan kantor ayahku dahulu lalu berjalan sekitar 200 meter ke perempatan ketiga itu. Aku sengaja berjalan di sisi seberang karena aku masih takut untuk mendekati perempuan itu. Sampai di lampu merah, aku tidak melihatnya.

“Apakah karena hari ini hari sabtu?, mungkin orang gila juga butuh istirahat”, pikirku.

Aku masih menunggu sekitar 5 menit, berdiri di pinggir perempatan besar itu sebelum menyeberang ke jalan menuju sekolahku, aku berpikir mungkin dalam 5 menit aku bisa melihatnya. Selama 5 menit itu, aku bertanya-tanya dalam pikiranku. Apakah benar perempuan itu gila? Apakah benar ia kehilangan anaknya? Apakah sekarang dia masih hidup? Apakah dia sudah menyerah karena tidak menemukan anaknya kembali? Kenapa aku peduli dengan perempuan itu? Kenapa aku bisa percaya begitu saja dengan cerita itu? Bisa saja teman-temanku mengarang cerita, mereka dulu kan cuma anak SD ingusan yang suka cari perhatian dan melebih-lebihkan sesuatu.

Aku tidak tau dimana ia tinggal, mungkin di sekitar perempatan itu. Kalau benar, berarti perempuan itu orang berada, karena rumah di sekitar jalan itu memiliki nilai yang tinggi karena berada di pusat kota dan dekat area kantor pemerintahan.

“Ah, gak taulah, ngapain sih aku mikirin perempuan itu”.

Aku melanjutkan perjalananku, aku tidak tahu kalau hari sabtu ini jalan agak sepi. Dahulu hari sabtu kami masih masuk sekolah.

“Oh iya aku lupa kalau ini masih pandemi, pantes aja sepi”.

Udah sepi makin sepi lah ini kota gara-gara pandemi. Dari perempatan sampai sekolah hanya berjarak sekitar 500 meter. Dahulu sekolah ini cukup terkenal dan menjadi favorit, mungkin karena posisinya strategis dan ekslusif di jalan tsb. Tetapi itu dahulu, sekarang sepertinya sudah turun popularitasnya. Apalagi setelah mengalami beberapa kejadian tragis yang menyeret nama sekolahku itu.

“Hmm niatnya mau nostalgia, kenapa tiba-tiba ingat kejadian itu sih, kan jadi horor”.

Akhirnya aku sampai di depan gerbang sekolahku dahulu, SD negeri favorit pada masanya.

--Bersambung…


~Rest


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu berpikir

Sepanjang aku hidup, selama sekitar 21 tahun 11 Bulan, Aku menarik kesimpulan bahwa inilah diriku apa adanya. Aku tidak perlu menjadi orang lain, aku tidak perlu menuruti penilaian orang lain. Aku menyadari dan terus menyadari bahwa banyak hal indah yang ada di sekelilingku, namun jika hatiku sedih, semuanya terasa suram. Sekali lagi aku menyadari bahwa perasaan bukanlah pegangan utama untuk memutuskan segala sesuatu. Adakalanya diam dan menangis adalah cara untuk menetralkan hati dan perasaan.  Inilah diriku, diciptakan dengan perasaan, emosi dan kehendak, aku manusia. Perasaan yang kadang membuai, tetapi kadang juga mematikan. Perasaan mudah berubah-ubah, perasaan mengikuti alur hidup yang kualami, terkadang puas, terkadang frustasi. Perasaan mudah diombang-ambingkan, karena itulah alasan perasaan tidak bisa menjadi pegangan yang kuat. Namun perasaan tidak salah, perasaan diciptakan agar aku peka. Perasaan dipakai agar aku dapat mempertimbangkan, walau ini bukan mjd dasar atas s

Kekacauan di Pikiranku #4

Hmm oke.. beberapa hari ini aku berpikir.. aku banyak menghabiskan waktuku untuk tidak melakukan apa-apa selain menonton TV (I know its not a good ide to solve the problem, but i just wanna do it even my mind wasnt there). Aku tidak melakukan apa-apa bukan tanpa sebab, tetapi aku sedang menghindari sesuatu. Aku bukan anak bodoh, maksudku, dulu aku begitu antusias untuk belajar banyak hal dan aku selalu tidak mau kalah dalam berkompetisi dengan anak-anak lainnya. Aku selalu ingin menjadi yang berbeda... Aku akan jealous jika anak lain lebih baik dan lebih banyak dipuji. aku tau ini respon yang buruk. Tetapi jika aku menekannya, aku merasa bukan menjadi diriku sendiri. Aku payah ya. Aku merasa mungkin aku adalah seseorang yang selalu ingin mencari perhatian, setiap aku ketawa atau berbicara, aku pasti memiliki suara yang cukup keras. Dalam sebuah perkumpulan, aku pasti akan selalu mengutarakan pendapatku. Sesungguhnya, Aku lelah menghadapi diriku yang seperti ini. Dulu aku sangat sen

myart GALERY

Ini karya iseng main Twisted Brush OPEN STUDIO....i love it,,,:D pot bunga (gak jelas tp lumayanlah menurutku) ini gambar iseng2an waktu sendirian gak ada temen #halah ini potret diri Naga haus darah (suasana hati ketika banyak tugas kuliah)