Setelah
20 tahun, aku baru kembali ke kota masa kecilku untuk sekedar berkunjung. Kota
yang tenang namun menghanyutkan. Orang dari luar pasti senang karena kota ini nampak
damai dan aman terkendali. Aku masih ingat jalan-jalan kota ini, tidak banyak
yang berubah. Jalan-jalan yang lebar, pohon-pohon besar di pinggir jalan, sedikit
kendaraan yang melintas dan tidak pernah ada kemacetan. Hanya ramai saat anak sekolah
berangkat dan pulang. Aku sengaja tidak
langsung menuju rumah, aku melewati jalan yang dulu sering aku lewati. Jalan
yang di pinggirnya area kantor dinas dan pemerintahan, salah satunya adalah
tempat bekerja ayahku dulu. Saat pindah ke kota ini, ayahku sengaja mencari
sekolah yang dekat dengan kantornya sehingga mudah untuk antar jemput.
Jalan
itu hanya ramai saat jam kerja atau sekolah, diluar jam itu jalanan sangat sepi.
Sebenarnya bukan hanya di jalan itu saja, secara keseluruhan kota itu akan
menjadi sepi selain di jam kerja. Hanya pasar saja yang selalu ramai. Aku
senang berada di kota ini, kota yang sepi, tidak sesibuk ibu kota dimana aku
sekarang tinggali. Berbeda dengan dahulu, waktu kecil aku selalu ingin pergi merantau
ke pulau yang lebih padat penduduknya karena aku muak dengan kota yang sepi ini,
tetapi sekarang semakin usiaku bertambah, aku malah rindu ke kota yang sepi ini
karena aku muak dengan kesibukan ibu kota. Manusia memang aneh ya, lebih
tepatnya akulah manusia aneh itu.
Hanya
3 tahun sebenarnya aku berada di kota ini untuk menyelesaikan sisa pendidikan
sekolah dasar, awalnya aku dari kampung yang lebih terpencil tetapi masih masuk
dalam wilayah provinsi yang sama dengan kota ini. Maklum keluargaku suka
berpindah-pindah. Aku paling berkesan dengan kota ini karena ada beberapa
kejadian yang tak pernah kulupakan.
Aku
menyusuri jalan ke sekolah dasarku dulu, ada 3 perempatan lampu merah yang
harus kulewati. Aku ingat dahulu di perempatan ketiga ada penunggu yang terkenal
di situ, seorang perempuan dengan tatapan kosong, ia tidak melakukan apapun. Ia
hanya berdiri mematung di pinggir jalan melihat kendaraan yang jalan dan berhenti di
lampu merah, sambil menenteng kantong plastik berwarna merah, entah isinya apa. Konon katanya, aku hanya dengar dari cerita teman-temanku saat
pertama pindah ke sini, mereka bilang kalau perempuan itu dahulu adalah orang
biasa tetapi menjadi gila karena kehilangan anaknya saat menyeberang di
perempatan itu. Aku tidak tau apakah itu benar atau tidak, aku juga tidak
berani bertanya langsung pada wanita itu. Aku takut dengan tatapannya yang kosong
tetapi mengerikan.
Entah
kenapa, saat pertama kali datang aku langsung kepikiran bagaimana kondisi
perempuan ini. Seingatku dahulu ia mungkin berumur sekitar pertengahan 30an.
Selain aku ingin nostalgia di jalan yang dahulu aku lewati setiap hari, aku
juga penasaran apakah perempuan itu masih ada di perempatan itu. Hanya sekitar
20 menit dari bandara untuk sampai di jalan itu, aku minta berhenti di depan
kantor ayahku dahulu lalu berjalan sekitar 200 meter ke perempatan ketiga itu.
Aku sengaja berjalan di sisi seberang karena aku masih takut untuk mendekati
perempuan itu. Sampai di lampu merah, aku tidak melihatnya.
“Apakah
karena hari ini hari sabtu?, mungkin orang gila juga butuh istirahat”, pikirku.
Aku masih
menunggu sekitar 5 menit, berdiri di pinggir perempatan besar itu sebelum
menyeberang ke jalan menuju sekolahku, aku berpikir mungkin dalam 5 menit aku
bisa melihatnya. Selama 5 menit itu, aku bertanya-tanya dalam pikiranku. Apakah
benar perempuan itu gila? Apakah benar ia kehilangan anaknya? Apakah sekarang
dia masih hidup? Apakah dia sudah menyerah karena tidak menemukan anaknya
kembali? Kenapa aku peduli dengan perempuan itu? Kenapa aku bisa percaya begitu
saja dengan cerita itu? Bisa saja teman-temanku mengarang cerita, mereka dulu kan
cuma anak SD ingusan yang suka cari perhatian dan melebih-lebihkan sesuatu.
Aku
tidak tau dimana ia tinggal, mungkin di sekitar perempatan itu. Kalau benar,
berarti perempuan itu orang berada, karena rumah di sekitar jalan itu memiliki
nilai yang tinggi karena berada di pusat kota dan dekat area kantor pemerintahan.
“Ah,
gak taulah, ngapain sih aku mikirin perempuan itu”.
Aku
melanjutkan perjalananku, aku tidak tahu kalau hari sabtu ini jalan agak sepi.
Dahulu hari sabtu kami masih masuk sekolah.
“Oh
iya aku lupa kalau ini masih pandemi, pantes aja sepi”.
Udah
sepi makin sepi lah ini kota gara-gara pandemi. Dari perempatan sampai sekolah hanya berjarak
sekitar 500 meter. Dahulu sekolah ini cukup terkenal dan menjadi favorit,
mungkin karena posisinya strategis dan ekslusif di jalan tsb. Tetapi itu
dahulu, sekarang sepertinya sudah turun popularitasnya. Apalagi setelah
mengalami beberapa kejadian tragis yang menyeret nama sekolahku itu.
“Hmm
niatnya mau nostalgia, kenapa tiba-tiba ingat kejadian itu sih, kan jadi horor”.
Akhirnya aku sampai di depan gerbang sekolahku dahulu, SD negeri favorit pada masanya.
--Bersambung…
~Rest
Komentar
Posting Komentar