Langsung ke konten utama

Ya Sudah Aku Terima

Dia hanya memandangku sebagai seorang adik, tidak lebih. Apalagi saat ia mengingat permintaanku waktu ia mengikuti program pertukaran pelajar ke Amerika. Aku sangat ingat, di hadapan teman-temannya, ia memberikanku sebuah daun. Pada waktu itu aku merasa sangat senang, senang karena aku mendapat oleh-oleh dari negeri paman Sam, tetapi aku juga sangat senang karena ia mengingatku. Sangat jarang sekali ada orang yang mengingat permintaanku. Itu sangat berarti untukku, membuatku bermimpi bahwa suatu saat aku akan memeluk pohon daun tersebut. 

Aku masih menyimpan daun itu hingga kini, aku beri label nama negara dan nama pemberi daun itu. Aku penasaran apakah ia masih mengingatnya? setelah lulus SMA, aku pindah ke kota lain dan memulai hidup baruku sebagai anak kuliahan, aku tidak pernah berhubungan lagi dengannya. Kami hanya berteman melalui sosial media dan tidak pernah berinteraksi apapun selain saling melihat atau menyukai gambar/video yang dipos. Aku dari awal tidak mengharap lebih darinya, aku hanya kagum setiap melihatnya. Kagum dengan hidupnya, kagum juga dengan senyumannya.

Sekarang sudah belasan tahun terlewati, ia tetap bersinar dan sangat tampan. Tidak berubah sejak dari awal aku mengenalnya. Perasaanku pun tetap sama, aku masih kagum melihatnya. Tentu saja hanya bisa kagum, tidak lebih. Aku merasa aku bukan tipe wanita yang menarik. Setiap aku menyukai seseorang, sangat dapat dipastikan bahwa itu jenis cinta yang bertepuk sebelah tangan. Aku bukan wanita pilihan pertama. Jika ada pria yang memilihku, pasti karena sudah tidak ada pilihan lagi. Mungkin perasaanku salah, tetapi bisa jadi benar. Ya sudah aku terima.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak Pernah Sama

 Hidup itu tidak pernah sama, miliaran orang di muka bumi ini memiliki jalan kehidupannya masing-masing. Memiliki pilihan masing-masing. Tidak pernah akan sama. Kenapa ya ketika melihat kehidupan orang lain, aku selalu merasa ingin merasakan menjadi seperti mereka. Setiap hari aku selalu bertanya di dalam kepala dan benakku, kenapa jalan hidupku seperti ini. Kenapa aku tidak bisa seperti orang-orang pada umumnya yang sepantaran usianya sepertiku. Di usiaku ini seharusnya aku sudah memiliki pekerjaan mapan, menikah, menyenangkan orang tua dan keluarga. Tetapi aku belum bisa. Terkadang aku merasa gagal, apa yang telah kulakukan selama ini? Kenapa jalan-jalan yang kupilih rasanya jauh dan lambat.  Kita seharusnya tidak membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain, kita harus bersyukur untuk apapun yang kita miliki. Ya aku setuju, tetapi kenapa ya aku selalu saja tergoda untuk memimpikan kehidupan orang lain. Andai saja aku seperti dia, andai saja aku memilih jalan seperti di...

Maafkan Aku, Diriku

Maafkan aku ya diriku, aku terlalu pengecut sehingga aku lebih memilih melarikan diri dan bersembunyi. Aku merasa sebuah proses begitu melelahkan, padahal aku membutuhkannya. Aku terlalu terlena mencari kenyamanan diri, sehingga aku lupa bahwa hidup tidak selalu indah seperti foto/video yang dishare di media sosial. Aku lupa bahwa hidup itu bukan media sosial. Aku terlalu sibuk merapikan yang di luar, aku lupa untuk mengasah apa yang ada di dalam. Maafkan aku ya diriku, aku lebih suka mendengar apa kata orang daripada apa yang benar untuk dilakukan sehingga aku membuatmu terombang-ambing. Membuatku terkurung pada pikiran-pikiran sempit dan berjalan pada lorong sempit yang dilewati oleh kebanyakan orang. aku lupa bahwa aku perlu keluar lorong untuk melihat langit dan padang rumput yang luas. Apa sebenarnya yang kucari? apa sebenarnya yang kuinginkan? apa yang benar-benar aku butuhkan? apa sebenarnya yang membuatku seolah terburu-buru dalam menjalani kehidupan. Tak pernah aku melihat tah...

[CERPEN] Cerdik Bukan Licik, Tulus Bukan Bulus.

Selain pandai menyimpan dendam, si Elam dikenal pandai menyimpan uang alias menabung dibandingkan anggota keluarga yang lain. Walau hidup susah, Elam selalu memegang erat ajaran gurunya bu Morela yaitu, “Hemat pangkal kaya”. Eh sebentar, nampaknya pepatah ini tidak asing dan sepertinya kurang lengkap. Oh iya, kalimat awalnya sengaja ia abaikan, mungkin karena kata “Kaya” lebih menarik perhatiannya. “Biarlah gak rajin belajar, yang penting pandai berhemat, lagian siapa yang tidak mau jadi kaya? Siapa yang mau hidup susah terus?”, pikirnya. Dia tidak benar-benar memahami pepatah itu seutuhnya, karena otaknya yang begitu cetek. Walaupun begitu, ia memang dikenal pandai berhemat bukan karena ia memiliki banyak uang untuk ditabung, tetapi karena hidup yang susah mengharuskan ia untuk hidup hemat, entah hemat atau kikir beda tipis seperti paman Gober. Tapi minimal ada hal positif yang dia teladani dari paman Gober yaitu hidup hemat, sehingga bisa menabung. Pertanyaannya adalah bagaimana ...